RSS

Rehabilitasi Klien dengan STEMI

Oleh Dewi Lestari Handayani, 0706270371

Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang, hali ini bisa disebabkan oleh adanya penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli/trombus atau adanya penurunan aliran darah (Smeltzer & Bare, 1996). Klien dengan MI biasanya merasakan nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung terus menerus, terletak di bagian bawah sternum dan perut atas. Nyeri yang tajam dan berat bisa menyebar ke bahu dan lengan biasanya ke kiri. Tidak seperti angina, nyeri ini muncul secara spontan (bukan setelah bekerja berat atau gangguan emosi dan menetap selama beberapa jam sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat maupun nitrogliserin. Pada beberapa kasus nyeri bisa menjalar ke dada dan leher. Nyeri sering disertai dengan napas pendek, pucat, berkeringat dingin, pusing dan kepala ringan dan mual serta muntah. Klien dengan DM mungkin tidak merasa nyeri berat bila tenderita infark miokardium, karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi neuroreseptor seingga menumpulkan nyeri yang dialami.

Pada kasus klien dengan iskemi, cedera, dan infark, terjadi perubahan pada gelombang T, segmen ST, dan gelombang Q pada pemeriksaan EKG klien. Tiga area tersebut bisa tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi bertahap. Yang pertama adalah area yang terluar, yaitu area iskemi dan biasanya yang pertama kali berubah. Gelombang T biasanya melengkung ke bawah karena kekurangan oksigen dan potasium akibat dari adanya kerusakan di sel otot jantung. Normalnya, gelombang T ke atas, lebih besar dari gelombang P dan asimetris. Perubahan yang terjadi berikutnya adalah elevasi segmen ST, yaitu segmen ST biasanya isoelektrik dan tingginya lebih besar dari 1mm. Elevasi segmen ST ini mengindikasikan adanya prolonged, severe injury pada sel miokardium. Segmen ST dapat berelevasi begitu tinggi yang kemudian menyebabkan gelombang T tidak terlihat sampai beberapa hari. Adanya elevasi segmen ST mengindikasikan adanya cedera akut. Disinilah intervensi harus dilakukan. Jika ada gelombang Q tanpa adanya elevasi pada gelombang ST, maka infark tidak akut. Perubahan terakhir yang terjadi adalah pada gelombang Q. Secara bersamaan, gelombang T yang melengkung ke bawah, elevasi segmen ST, dan adanya gelombang Q merupakan tanda-tanda terjadinya nekrosis miokardium yang irreversible. Gelombang Q harus lebih besar dari 0,04 sekon pada lebarnya dan lebih besar 25% tinggi dari gelombang R untuk terjadinya perubahan patologis. Adanya perubahan EKG juga menunjukkan area infark, seperti tabel di bawah ini (Aelhert, 2002 dalam Chernecky, 2006):

Lokasi MI

Indikasi perubahan*

Reciprocal Changes**

Arteri koroner yang terpengaruh

Lateral

I,aVL, V5,V6

V1-V3

Arteri koroner sinistra –circumflex branch

Inferior

II,III, aVf

I,aVL

Arteri koroner dekstra—posterior descending branch

Septum

V1,V2

None

Arteri koroner sinistra—left anterior descending artery, septal branch

Anterior

V3,V4

II,III,AVf

Arteri koroner sinistra—left anterior descending artery, diagonal branch

Posterior

Tidak tervisualisasi

V1,V2,V3,V4

Arteri koroner dekstra atau arteri sirkumfleks sinistra

Ventrikel kanan

V1R-V6R


Areteri koroner dekstra—proximal branches.

*leads facing affected areas

**leads opposite affected areas

Pada EKG klien dengan MI akan memiliki tiga perubahan pada II, III, AVf. Dinding inferior MI disebabkan oleh adanya pemblokkan pada Arteri koroner dekstra. Klien yang menderita inferior MI memiliki blok jantung karena arteri koroner dekstra memberikan suplai pada nodus sinoatrial dan antrioventrikular dengan presentase yang besar.

Rehabilitasi Klien dengan MI

Rehabilitasi merupakan komponen dari manajemen personal dan profesional yang esensial, yang dalam kasus ini adalah rehabilitasi klien dengan MI. Tujuan rehabilitasi bagi klien dengan MI adalah mengembangkan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Tujuan jangka pendeknya adalah mengembalikan sesegera mungkin ke gaya hidup normal atau mendekati normal. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengna mendorong aktivitas fisik dan penyesuaian fisik, memberi pendidikan kepada pasien maupun keluarganya dan memulai penyuluhan psikososial dan bimbingan bila diperlukan.

Ada beberapa rekomendasi untuk merencanakan rehabilitasi pada klien dengan IM (Black & Hawks, 2005):

  1. Pola diet kardioprotektif
  2. Anjuran untuk diet secara intensif, pemeriksaan persetujuan (compliance checks), dan tindak lanjut jangka panjang sebaiknya diberikan.
  3. Merekomendasikan suplemen nutrisional seperti vitamin antioksidan, dan mineral untuk mencegah penyakit kardiovaskular
  4. Suplemen ikan dan minyak ikan dapat menurunkan risiko kematian jantung mendadak
  5. Untuk klien dengan berat badan berlebih dan obesitas dengan CHD, kombinasi antara diet rendah energi dan peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan
  6. Tujuan awal terapi penurunan berat badan sebaiknya membuat berat badan klien menurun 10%
  7. Semua klien dengan penyakit kardiovaskular sebaiknya berhenti merokok dan harus didukung untuk terus berhenti merokok sebagai penilaian utama.
  8. Semua klien dengan CHD memiliki farmakoterapi standar dengan aspirin, beta-bloker, ACE inhibitor, dan statin jika tidak ada kontraindikasi.
  9. Rehabilitasi jantung yang komprehensif harus berada di dalam manajemen kasus.

Fase-fase Rehabilitasi Jantung.

Fase I dimulai segera setelah terjadi episode akut penyakit, biasanya pada saat pasien masih di unit perawatan jantung. Setelah episode akut, biasanya klien akan bed rest kurang dari 24 jam jika tidak ada komplikasi seperti gagal jantung atau perkembangan disritmia. Meskipun miokardium harus diistirahatkan, bed rest membuat klien memiliki risiko hipovolemia, hipoksemia, atropi otot, dan pulmonary emboli. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dicegah . Jika klien nausea, berikan diet cairan sampai nausea berkurang. Perawat atau fisioterapi harus memulai latihan pasif. Seiring dengan peningkatan kekuatan klien, biarkan klien untuk duduk di sisi tempat tidur dan mengayunkan kakinya selama beberapa saat. Ambulasi klien ke kursi di sisi tempat tidur selama 15-20 menit setelah hari pertama jika klien dapat mengayunkan kaki tanpa ada nyeri dada, disritmia, atau hipotensi. Saat klien dipindahkan dari unit perawatan jantung ke unit umum atau intermediet, kebebasan penggunaan kamar mandi dan aktivitas perawatan diri dibutuhkan. Wireless heart monitoring (telemetri) dapat dilanjutkan. Izinkan klien untuk berjalan-jalan selama beberapa saat dengan supervision di koridor. Jarak tempuh dan durasi pada jalan-jalan ini meningkat secara progresif.

Klien kehilangan 10% sampai 15% otot skeletal dan kekuatan kontraktilitas selama minggu pertama tirah baring dan 20% sampai 25% setelah mengalami tirah baring selama 3 minggu. Klien harus meningkatkan aktivitasnya untuk mencegah kerja jantung berlebih saat memompakan darah yang berisi oksigen ke otot. Metabolic Equivalent Test (MET) adalah cara untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas: 1MET=3.5 ml O2/kg/min. Mobilisasi awal setelah MI tidak boleh lebih dari 1-2 MET seperti bercukur dan makan. Kaji denyut nadi, tekanan darah, level lelah seiring dengan peningkatan level aktivitas klien. Bantu klien untuk mencegah kelelahan. Selama fase 1, pendidikan kesehatan yang harus diberikan meliputi anatomi jantung, risiko faktor fisiologi dan manajemen CHD, konseling kebiasaan, dan aktivitas di rumah.

Fase 2 terjadi menjelang pemulangan pasien, selama tahap kedua ini perawat dapat membantu pasien ke arah pencapaian tujuan untuk hidup mandiri, meskipun masih dalam tirah baring ketat. Fase ini dicapai dengan mengarahkan pikiran pasien ke masa dimana ia akan dapat aktif kembali. Tujuan disini bukan merubah gayacardiac rehabilitation staff. Beberapa klien dapat kembali bekerja saat minggu ke 8 atau ke 9 jika asimtomatik. Antara minggu ke delapan dank e sepuluh, klien dianjurkan untuk melengkapi pemeriksaan fisik, meliputi EKG, exercise stress tests, analisa lipid, pemeriksaan x-ray dada. Tenaga kesehatan harus memastikan hawa masalah kesehatan yang berkontribusi dalam perkembangan CHD sudah tidak ada (hipertensi, anemia, hipertiroid). hidup pasien secara total, tetapi mendorong penyesuaian yang diperlukan. Sebaiknya hindari perhatian terhadap hal-hal yang tidak bisa dilakukan pasien, melainkan dorong pencapaian jangka pendek dan jangka panjang berdasar kebutuhan masing-masing individu. Perjalanan penyakit perlu dijelaskan, jawab semua pertanyaan dengan Jujur, dan beri keyakinan kepada pasien bahwa kebanyakan orang mampu beraktivitas kembali setelah MI. Pendekatan yang positif ini akan membantu pasien agar tidak mengalami defek jantung. Melanjutkan aktivitas seksual paska MI merupakan hal yang paling sulit. Kegiatan tersebut biasanya boleh dilanjutkan 4-8 bulan setelah MI. Klien harus dapat melakukan aktivitas naik-turun tangga sebelum melanjutkan aktivitas seksualnya. Klien juga tidak boleh makan atau minum yang mengandung alkohol sebelum aktivitas seksual. Anjurkan klien untuk berhenti merokok, anjurkan klien untuk sering berjalan-jalan. Selama fase kedua, klien melakukan latihan otot selama 20-30 menit selama 3-4 kali per minggu dengan dimonitor oleh

Fase 3 dimulai saat pasien pulang ke rumah dan berlangsung selama masa pemulihan, dimulai dari bulan ke 4 sampai bulan ke 6. Tujuan fase 3 adalah mengembalikan aktivitas pasien pada tingkat yang memungkinkannya bekerja atau kembali ke aktivitas yang biasa dilakukan sebelum terjadi penyakit. Fase ini biasanya dilakukan dengan mendaftarkan pasien pada suau program rehabilitasi formal yang mengawasi peningkatan aktivitas pasien. Kebanyakan program seperti ini menjadwalkan pertemuan pada pagi hari, sore hari atau malam sehingga pasien yang telah kembali bekerja dapat menyusun jadwal partemuan sesuai aktivitas harian mereka.

Fase 4 difokuskan pada penyesuaian jangka panjang ada pada pemeliharaan stabilitas kardiovaskuler. Pada fase ini pasien biasanya sudah mampu mengatur diri sendiri dan tidak memerlukan program pengawasan. Tujuan tiap tahap ditentukan dan didasarkan pada pencapaian tahap sebelumnya.

Sepanjangan seluruh tahap rehabilitasi, tujuan aktivitas dan toleransi latihan dicapai melalui penyesuaian fisik, yang dilakukan untuk memperbaiki efisiensi jantung dan tekanan darah yang rendah, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung. Penyesuaian fisik terjadi pada fase I dimulai dengan latihan rentang gerak lengan. fase 2 mencakup duduk di kursi, berjalan, dan naik tangga. fase 3 dapat mencakup jalan lebih cepat, akhirnya fase 4 berupa joging. Penyesuaian fisik hanya boleh dilakukan dibawah pengawasan dokter. Pasien diobservasi selama aktivitas terhadap nyeri dada, dispnu, kelemahan, kelelahan, dan peningkatan frekuensi jantung yang melebihi frekuensi ambang. Bila muncul salah satu gejala tersebut, pasien harus diperingatkan untuk segera mengentikan aktivitasnya dan menghubungi dokter.

Daftar Pustaka

Black, Joyce M.; Hawks, Jane Hokanson. (2005). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes volume 2. (7th Ed). St. Louis: Elsevier Saunders.

Chernecky, Cyntia; et. al. (2006). Saunders nursing survival guide: ECGs & the heart. St. Louis: Elsevier Saunders.

Smetzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (1996). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth volume 2. (Edisi 8). Jakarta: EGC. (Alih bahasa: dr. H.Y. Kuncara, Monica Ester, S. Kp, dr. Andry Hartono, DAN & Yasmin Asih, S. Kp)

Sleep Deprivation Causes the Problems to the Body

by. Dewi Lestari Handayani

Sleeping is the activity that can not be erased in human’s needs. People need to sleep in order to maintain the body function. However, there are times when people put their works as a majority and deprive their sleep to finish their works that makes them don’t get enough sleep. Sleep deprivation may disturb the body function. It can lead to serious condition to the physical and mental state. There are some results that caused by sleep deprivation, such as impairment of brain, weight gain, and death.

Sleep deprivation can cause the impairment of brain function. Sleep is needed to regenerate certain parts of the body, especially the brain, to function optimally. However, when sleep deprivation occurs, it affects the regenerate process in the brain, especially the frontal lobe. Its functions are associated with speech and creative thinking. Sleep deprived test subjects have found the difficulties in thinking of imaginative words or ideas, reacting well to unpredicted rapid changes, making the quick but logical decision, doing something well in sleep deprived person, and delivering a statement well. These are because in sleep deprived person, the brain’s ability to function quickly worsens. The brain works harder to neutralize sleep deprivation effects, but operates less effectively that leads in dropping concentration levels and impairing memory.

The next result of sleep deprivation is gaining the body weight. The amount and quality of the sleep affects hormone level, especially the level of leptin and ghrelin. Leptin affects the feeling of fullness and satisfaction after a meal, and ghrelin stimulates appetites. When sleep deprivation occurs, the level of leptin decrease, yet ghrelin’s level increase. In this condition, sleep deprived person can not control his feeling of hungriness. He will always feel hungry since hormone that is controlling the fullness decrease. It makes him eating more without really getting satisfied by what he eats. If that condition occurs continuously, it may gain his body weight.

The last result of sleep deprivation is death. This is the worst case that can occur in continuous sleep deprivation. Usually, this is the result of the decreasing of immune system. The number of white blood cells within the body decreases as does the activity of the remaining white blood cells. Adults need about eight hours of sleep and tend to need less sleep as they age while teenagers and primary school children need about nine to ten hours. A study found that total sleep duration of seven hours per night over a week has resulted in decreased speed in tasks of simple reaction time, total sleep duration of five hours per night over a week shows decrease in speed and accuracy failure, and total sleep duration of less than four hours per night are three times more likely to die within the next six years. Moreover, it was found that sleep deprived rats die within two to five weeks.

Sleep deprivation can impair the function of brain, gain the body weight, and if this condition occurs continuously to a person, it can lead to die. These are clear that no matter what happen, or how busy someone is, he needs to sleep to maintain his condition. With a good amount and quality of sleep, our physic and mental appearance will be in a good condition and can prevent the problems to the body that makes us ready to face the day.


References

Ledoux, Sarah. The effects of sleep deprivation on brain and behaviour. http://serendip.brynmawr.edu/exchange/node/1690 (accessed on November 14th 2009 at 9:57 WIB)

More Focus Group Inc. The effects of sleep deprivation. http://www.sleep-deprivation.com/articles/effects-of-sleep-deprivation/index.php (accessed on November 14th 2009 at 10:07 WIB)

Newcastle Sleep Disorder Centre. Sleep deprivation. http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Sleep_deprivation (accessed on November 14th 2009 at 9:56 WIB)

Stevens, M Suzanne. Normal sleep, sleep physiology, and sleep deprivation. http://emedicine.medscape.com/article/1188226-overview (accessed on November 14th 2009 at 10:10 WIB)

Revitalisasi Posyandu terkait dengan Gizi Buruk Balita

oleh: Dewi Lestari Handayani


Revitalisasi posyandu terkait dengan gizi buruk di suatu wilayah.

Peran Posyandu dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sangat diperlukan. Revitalisasi posyandu dapat menjadi titik tolak yang betul-betul intensif dan efektif dalam mencegah makin meluasnya kasus gizi buruk di Indonesia. Dalam proses revitalisasinya, diperlukan berbagai macam strategi yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan demi mengurangi angka penderita gizi buruk dan meningkatkan peran layanan kesehatan terhadap masyarakat.


Strategi Revitalisasi Posyandu

Pelaksanaan Revitalisasi Posyandu bertujuan untuk meningkatkan peran posyandu sebagai wadah pelayanan kesehatan dasar berbasis masyarakat, dengan penekanan pada bentuk :

  1. Intervensi : Pengelolaan posyandu yang dikelola oleh unsur masyarakat / kelompok masyarakat yang mempunyai minat dan misi yang jelas.
  2. Kemandirian : Peningkatan kemampuan setiap keluarga dalam memaksimalkan potensi pengembangan kualitas SDM.

Strategi Program

Pencapaian pelaksanaan Revitalisasi Posyandu dilakukan melalui serangkaian program, yaitu revitalisasi posyandu, pelayanan kesehatan dasar, dan pemberian makanan tambahan.

A. Revitalisasi Posyandu

Revitalisasi posyandu merupakan upaya pemenuhan kesehatan dasar balita dan peningkatan status gizi berbasis masyarakat.Intervensi yang dilakukan sebagai fasilitas awal dalam mengatasi masalah gizi buruk pada suatu daerah. Dengan merevitalisasi posyandu di wilayah tersebut, status gizi anak akan terkontrol dengan baik dan dapat dipantau perkembangannya.

  1. Penyediaan Sarana dan Prasarana Posyandu.

Penyediaan sarana dan prasarana posyandu merupakan hal yang penting dalam proses revitalisasi posyandu, yaitu dengan membentuk 1 posyandu dan melakukan pembenahan terhadap posyandu yang telahh ada beserta alat-alat kesehatan yang dibutuhkan dan sesuai dengan kapasitas daya tampung posyandu tersebut dalam menangani balita.

  1. Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu.

Kader posyandu merupakan agen terpenting bagi kelangsungan posyandu tersebut. Kader-kader yang berkualitas secara tidak langsung dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di sekitarnya karena mereka dapat memberikan layanan posyandu yang efektif dan tepat guna. Peningkatan kapasistas kader posyandu dapat dilakukan dengan cara memberikan materi berseri bagi kader posyandu agar pengetahuan kader akan selalu berkembang disertai memberikan pelatihan-pelatihan yang dapat membentuk pribadi kader yang berkualitas, baik secara fisik, maupun mental.

  1. Peningkatan Pengetahuan Ibu.

Selain meningkatkan kapasitas dan kualitas kader posyandu, memberikan pengetahuan yang lebih kepada setiap ibu merupakan hal yang penting dilakukan. Ibu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap kesehatan akan menjadi ibu yang siaga dan rajin memeriksaan kesehatannya dan anaknya ke posyandu sehingga akan terjadi peningkatan kualitas kesehatan bagi ibu dan balita. Contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan seminar parenting, atau membagikan publikasi pendidikan kesehatan pada ibu.

  1. Membangun Kemitraan Masyarakat untuk Meningkatkan Peran Pelayanan Posyandu.

Selanjutnya, masyarakat sekitar akan diikutsertakan pula dalam pelayanan posyandu agar terjalin kemitraan yang kuat dan tumbuh perasaan saling memiliki terhadap posyandu tersebut. Dengan munculnya perasaan saling memiliki, masyarakat akan senang menggunakan layanan posyandu tersebut, serta akan membantu tenaga kesehatan dalam mengembangkan fungsi posyandu sehingga menjadi lebih optimal.

Misalnya, dengan pembentukan 1 posyandu pada 2 RT dengan merekrut kader dari masyarakat RT tersebut.

B. Pelayanan Kesehatan Dasar

Pelayanan kesehatan dasar ini meliputi upaya peningkatan kualitas kesehatan balita dan ibu hamil setelah tenaga kesehatan membentuk unit posyandu. Setiap masyarakat dapat mendapatkan intervensi-intervensi kesehatan yang terkait dengan ibu dan balita. Intervensi yang dilakukan adalah pemeriksaan kesehatan balita, ibu, dan peningkatan sistem rujukan.

Pemeriksaan kesehatan balita meliputi pemeriksaan yang dilakukan pada bayi sejak masa kelahiran, yaitu berupa pemeriksaan gizi bayi, proses tumbuh kembang bayi, serta imunisasi; sementara pemeriksaan kesehatan ibu yang dilakukan sejak masa kehamilan melalui pemeriksaan, pemberian makanan sehat dan vitamin, serta peningkatan pemahaman dan pengetahuan ibu hamil melalui penkes. Dengan demikian, diharapkan akan ada peningkatan status kesehatan ibu dan bayi yang akan dilahirkan.

Peningkatan sistem rujukan diperlukan ketika terjadi masalah kesehatan yang serius bagi bayi. Balita yang mengalami gizi buruk biasanya akan dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit setempat untuk mendapatkan perawatan intensif sebelum keadaannya makin buruk. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem rujukan dari posyandu ke puskesmas dan rumah sakit sehingga akan mempermudah akses ibu yang bayinya mengalami masalah kesehatan.

C. Pemberian Makanan Tambahan

Pemberian makanan merupakan upaya pemenuhan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan anak. Anak-anak dengan gizi buruk membutuhkan asupan makanan dengan gizi yang seimbang. Namun karena keterbatasan ekonomi keluarga, kebutuhan gizi anak-anak sering kali terabaikan sehingga dalam melakukan revitalisasi posyandu, dibutuhkan program pemberian makanan tambahan dalam rentang waktu yang telah ditentukan.

Balita dengan status gizi kurang dan buruk akan mendapatkan intervensi khusus dengan pemberian makanan tambahan sesuai waktu yang ditentukan. Menu makanan akan diurus oleh kader posyandu. Juga, dilakukan penimbangan dan pengukuran untuk melihat perkembangan status gizi balita setiap bulannya akan menggambarkan apakah program-program yang telah dilaksanakan tersebut bermanfaat bagi perkembangan status kesehatan anak.

Daftar Pustaka:

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Profil revitalisasi. http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=111&Itemid=172 (diakses pada 7 Mei 2009 pukul 1:24)

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Penyediaan sarana dan prasarana posyandu. http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=294:penyediaan-sarana-a-prasarana-posyandu&catid=73:kegiatan&Itemid=61

Departemen Kesehatan. Revitalisasi posyandu melalui mopping-up putaran kedua. http://www.depkes.go.id/index.php

Maria Ulfah Anshor. Revitalisasi posyandu. http://www.kesrepro.info/?q=taxonomy/term/1