Vomiting or emesis is being coordinated by the centre of emesis in Medulla. It can be started by the afferent neuron into its centre. Vomiting occurs by the respiration muscles contraction and abdomen muscle, it started when the deep inspiration occurs along with the closing of glottis. The contraction of diaphragm is pressing the gastric while abdomen muscle‘s contraction is pressing the abdomen, then intraabdomen pressure increased along with the mucous in gastric. The glottis closed.
Vomiting occurs by some causes: 1. Tactil stimulation (with the finger or spatel)
2. Iritation 3. Intracranial pressure. It occurs when there’s intracerebral bleeding. It also occurs after the brain injury that result in edema or bleeding in intracranial.
4. Rotation or head acceleration that leads dizziness.
5. Severe pain from any organs. 6. Chemical substance, including medicine or toxic agent, that stimulates chemoreceptor in CTZ (chemoreceptor trigger Zone) in the brain that leads to the vomit reflects.
7. Physical vomiting, that trigerred by the emotional factors like stressed or seeing or smelling something.
Reference:
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. Jakarta: EGC
The muscle's soft and strong movement is affected by the cerebellum and ganglia basal. As we know that cerebellum is a part of the brain that lied under posterior lobe of the cerebrum, that has a responsibility in coordination, balance, timing, and all the muscle movement starting from motoric center in cortical cerebri.
Ganglia basal is the mass in grisea substation in the middle brain under the hemisphere. it has a function to control the involuntary activity and to keep the basic shape of the voluntary movement. it's keeping the the contractility of the muscle and constant condition of from the extremity. Someone can react right and fast for some olfaction, vision and hearing because of ganglia basal.
Dyskinesia
it happens when someone got the intracranial injury or there's a mass (hemorrhage, abscess, tumor) so he lost his cerebellum's function. Because of this, the muscle tone lose, and feels fatigue, but the symptoms are varied, it depends the wide of the distortion. it can be decortication, or decerebration. Decortication occurs because of there are lessions in internal capsule or cerebral hemisphere.
Decerebration occurs when there are lessions in the middle brain. flaccid position in decerebration occurs when there's a dysfunction of the bottom brain stem. there are no motoric function, patient looks paralyze. Decerebration is of the indication of brain injury with severe neurology distortion.
the distortion of ganglia basal doesn't show any paralysis but spasm, where it's consequence is the distortion of the body posture and movement. Patient will show any involuntary movement, forming a hard tremor.
source:
Smeltzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. Jakarta. EGC.
Dalam pemeriksaan neurologis, ada beberapa poin yang harus dikaji, diantaranya yaitu: a. Pemeriksaan sistem
b. Pemeriksaan GCS
c. Pemeriksaan Meningeald. Pemeriksaan fungsi serebral
e. Pemeriksaan Saraf Kranial
f. Pemeriksaan fungsi sensorimotorikg. Pemeriksaan refleks tubuh
Sekarang, *sebenarnya hanya sebagai pengingat pribadi sih ^^*, saya akan mencantumkan Pemeriksaan Glasgow Coma Scale atau yang biasa dikenal dengan GCS atau periksa kesadaran. Pemeriksaan ini hampir selalu dilakukan di klinik, terutama pada kasus-kasus kegawatan.
Pada kesadaran kualitatif sendiri, ada beberapa jenis tingkat kesadaran yang dialami klien, dari tingkat yang paling ringan hingga yang berat.
1. CM (Compos Mentis) Pada state ini, klien berada dalam tingkat kesadaran penuh dan dapat diajak untuk berinteraksi.
2. Apatis 3. Confuse Dapat terjadi akibat adanya disfungsi otak mendadak.
4. Somnolen Pada state ini, klien seolah berada di dalam kondisi mengantuk berat, tidak sadar jika diajak bicara, baru akan sadar ketika diberi stimulus kuat (contoh: suara keras, guncangan)
5. Delirium atau acute confusional state, klien tidak bisa mengontrol dirinya. Bisa muncul akibat efek samping obat-obatan seperti antikolinergik, serta CNS depressant (benzodiazepin & golongan opioid)
6. Sopor atau Stupor Pada state ini, klien seolah berada di dalam kondisi tidur berat, harus distimulus dengan nyeri hebat untuk membangunkannya
7. Soporokoma State ini adalah state antara sopor dan koma, kondisi klien tidur berat dengan respon minimal.
8. Koma Pada state ini, klien tidak menunjukkan respon apapun.
Selamat Belajar ^^~
Referensi:
Hudak, Carolyn M.; Gallo, Barbara M.; Morton, Patricia Gonce. (1998). Critical care nursing: A holistic approach. 7th ed. Philadelphia: Lippincot.
Sekilas tentang Systemic Lupus Erythematosus -oleh: Dewi Lestari Handayani, FIK UI 2007-
Patofisiologi SLE ini merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe III, yaitu reaksi akibat kegagalan imun dan system fagosit untuk lepas dari imun kompleks antigen-antibodi. Penyakit ini diperkirakan terjadi karena adanya gangguan pada regulasi imun yang menyebabkan meningkatnya autoantibodi yang berlebihan. Gangguan ini muncul akibat kombinasi faktor-faktor genetic, hormonal, dan lingkungan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody ini diperkirakan terjadi akibat keabnormalan fungsi sel T-supresor sehingga terjadi penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Mekanisme pasti tidak diketahui, akan tetapi, sekali terbentuk, anti-DNA autoantidbodi dapat bereaksi dengan DNA dari sel-sel yang rusak di tubuh sehingga menyebabkan munculnya respon inflamasi karena adanya peningkatan kerusakan sel dan pembentukan antigen-antibodi imun kompleks sebagai respon inflamasi.
Manifestasi Klinis: Tanda dan gejala pada orang yang menderita lupus eritematosus sistemik bervariasi (tergantung organ yang diserang) dan dapat bersifat perlahan-lahan dan tidak jelas. Biasanya, tanda dan gejala yang muncul adalah: a. Ginjal Nefritis, glomerulonefritis
b. Kulit Rash eritematosus pada kulit yang terkena, purpura, alopecia, ulkus mukosa, yang dapat mengenai palatum durum disertai dengan eksaserbasi nodul subkutan, splinter hemorrhages
c. Sistem Saraf Pusat Neuritis, seizures (kejang), depresi, psikosis
d. Lain-lain Arthritis/poliarthralgia, perikarditis, restrictive pulmonary disease, perubahan retina, trombositopenia, anemia, ulkus gastrointestinal, perikarditis (paling sering ditemukan) disertai efusi pleura, limfanodenopati (50%pasien SLE) selama perjalanan penyakit tersebut,
Definisi Kolostomi dilakukan pada kurang dari sepertiga pasien kanker kolorektal. Kolostomi (stoma) pada kolon secara bedah. Stoma ini dapat berfungsi sebagai diversi sementara atau permanent. Ini memungkinkan drainase atau evakuasi isi kolon keluar tubuh. Konsistensi drainase dihubungkan dengan penempatan kolostomi yang ditentukan oleh lokasi tumor dan luasnya invasi pada jaringan sekitar.
Komplikasi Kolostomi Insiden komplikasi untuk pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien ileostomi. Beberapa komplikasi yang umum adalah prolaps stoma (biasanya akibat dari obesitas), perforasi (akibat ketidaktepatan irigasi stoma), retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit. Kebocoran dari anastomosis usus menyebabkan distensi abdomen dan kekakuan, peningkatan suhu, serta tanda syok. Perbaikan pembedahan diperlukan. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dianggap beresiko, khususnya bila mereka telah mendapat antibiotic atau sedatif, atau dipertahankan tirah baring untuk waktu lama. Dua komplikasi paru primer adalah pneumonia dan atelektasis. Komplikasi ini dapat dicegah seriing beraktivitas (membalik pasien dari satu sisi ke sisi lain setiap 2 jam), napas dalam, batuk, dan ambulasi dini
Pasien yang memerlukan kolostomiIntervensi keperawatan pre-operatif Dukungan psikososial Tindakan kolostomi memberikan beberapa pengaruh terhadap klien, diantaranya: a. Kolostomi dapat menjadi hal yang traumatis bagi klien b. 25% klien tidak menerima stoma mereka c. aktivitas sosial dan fungsi seksual klien terganggu d. klien tidak dapat mengontrol pengosongan kolon merekaKlien yang menjalani pembedahan untuk kolostomi sementara dapat mengekspresikan rasa takut dan masalah yang serupa dengan klien yang memiliki stoma permanen. Semua tim kesehatan dan keluarga harus ada di samping klien untuk memberikan dukungan.Perubahan yang terjadi pada citra tubuh dan gaya hidup sering sangat mengganggu, dan klien memerlukan dukungan empatis dalam mencoba menyesuaikannya. Karena stoma ditempatkan pada abdomen, klien dapat berpikir bahwa setiap orang akan melihat ostomi. Perawat dapat membantu mengurangi ketakutan ini dengan memberikan informasi aktual tentang prosedur pembedahan dan pembentukan serta penatalaksanaan ostomi. Berikan kesempatan pada klien untuk mengajukan pertanyaan. Penerimaan dan pengertian perawat terhadap masalah dan perasaan klien, menunjukkan sikap kompeten yang meningkatkan percaya diri dan kerjasama.
Persiapan pembedahan Untuk persiapan pembedahan, diet tinggi kalori dan rendah residu diberikan selama beberapa hari sebelum pembedahan, bila waktu dan kondisi klien memungkinkan. Apabila tidak terdapat situasi kedaruratan, tindakan praoperatif dilakukan serupa dengan pembedahan abdomen umumnya. Terapi komponen darah dapat diberikan karena biasanya terjadi anemia. Intubasi nasogastrik praoperatif dapat diindikasikan untuk meminimalkan distensi pada periode pascaoperatif. Kateter indwelling dipasang untuk membantu mempertahankan balitan perineal pascaoperatif tetap kering.
Intervensi keperawatan post-operatif Klien dipantau terhadap tanda komplikasi yang mungkin muncul pasca tindakan kolostomi. Hal ini mencakup kebocoran dari sisi anastomosis, prolaps stoma, perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit, serta komplikasi paru yang dihubungkan dengan bedah abdomen. Abdomen dipantau terhadap tanda kembalinya peristaltik dan kaji karakteristik feses. Klien yang menjalani kolostomi dibantu turun dari tempat tidur pada hari pertama pascaoperatif dan didorong untuk mulai berpartisipasi dalam menghadapi kolostomi. Kembalinya diet ke pola normal berlangsung sangat cepat. Sedikitnya 2 L cairan per hari dianjurkan.Beberapa pasien mengalami pelambatan eliminasi setelah irigasi akibat penurunan peristaltik dan produksi mukus. Kebanyakan pasien membutuhkan waktu sampai 6 bulan untuk merasa nyaman dengan perawatan ostomi mereka.
Menangani kolostomi Fungsi kolostomi akan mulai tampak pada hari ke 3 sampai hari ke 6 pascaoperatif. Perawat menangani kolostomi sampai klien dapat mengambil alih perawatan ini. Perawatan kulit harus diajarkan bersamaan dengan bagaimana menerapkan drainase kantung dan melaksanakan irigasi.
a. Perawatan kulit. Pada kolostomi transversal, terdapat feses lunak dan berlendir yang mengiritasi kulit, sedangkan pada kolostomi descenden atau sigmoid, feses agak padat dan sedikit mengiritasi kulit. Klien dianjurkan melindungi perstoma dengan sering mencuci area tersebut menggunakan sabun ringan, memberikan barier kulit protektif disekitar stoma dan mengamankannya dengan melekatkan kantung drainase. Mycostatin dapat ditebarkan sedikit pada kulit peristoma bila terdapat iritasi atau pertumbuhan jamur.
Kulit dibersihkan dengan perlahan dengan sabun dan waslap lembab serta lembut. Selama kulit dibersihkan, kasa dapat digunakan untuk menutupi stoma atau tampon vagina dapat dimasukkan perlahan untuk mengabsorpsi kelebihan drainase. Hindari menggosok area tersebut.
b. Memasang kantung drainase Stoma diukur untuk menentukan ukuran kantung yang tepat. Lubang kantung harus sekitar 0,3 cm lebih besar dari stoma. Kulit dibersihkan sesuai prosedur diatas. Barier kulit peristoma dipasang. Kantung kemudian dipasang dengan cara membuka kertas perekat dan menekannya di atas stoma selama 30 detik.
c. Menangani kantung drainase Kantung kolostomi dapat digunakan setelah irigasi; dan diganti dengan balutan yang lebih sederhana. Klien dapat memilih berbagai bentuk kantung, tergantung pada kebutuhan individu. d. Mengangkat alat Alat drainase diganti bila isinya telah mencapai sepertiga sampai seperempat bagian sehingga berat isinya tidak menyebabkan kantung lepas dari diskus perekatnya dan keluarnya isinya. Klien dapat memilih posisi duduk atau berdiri yang nyaman dan dengan perlahan mendorong kulit menjauh dari permukaan piringan sambil menarik kantung ke atas dan menjauh dari stoma. e. Mengirigasi kolostomi Tujuan irigasi kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon dari gas, mukus, dan feses sehingga klien dapat menjalankan aktivitas sosial dan bisnis tanpa rasa takut terjadi drainasi fekal. Dengan mengirigasi stoma pada waktu yang teratur, terdapat sedikit gas dan retensi cairan pengirigasi.
Prosedur Mengirigasi Kolostomi Prosedur perawatan kolostomi 1. Persiapan a. Persiapan pasien 1) Mengucapkan salam terapeutik 2) Memperkenalkan diri 3) Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan. 4) Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya 5) Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam. 6) Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi 7) Privacy klien selama komunikasi dihargai. 8) Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan 9) Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan) b. Persiapan alat 1) Sarung tangan bersih 2) Handuk mandi/selimut mandi 3) Air hangat 4) Sabun mandi yang lembut 5) Tissue 6) Kantong kolostomi bersih 7) Bengkok/pispot 8) Kassa 9) Tempat sampah 10) Gunting 2. Prosedur a. Menjealskan prosedur b. Mendekatkan alat-alat kedekat klien c. Pasang selimut mandi/handuk d. Dekatkan bengkok kedekat klien e. Pasang sarung tangan bersih f. Buka kantong lama dan buang ketempat bersih g. Bersihkan stoma dan kulit sekitar dengan menggunakan sabun dan cairan hangat h. Lindungi stoma dengan tissue atau kassa agar feces tidak mengotori kulit yang sudah dibersihkan i. Keringkan kulit sekitar stoma dengan tissue atau kassa j. Pasang kantong stoma k. Buka sarung tangan l. Bereskan alat m. Rapihkan pasien n. Mencuci tangan o. Melaksanakan dokumentasi : 1) Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien 2) Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien
Referensi: Cleveland clinic. Colostomy. http://my.clevelandclinic.org/disorders/colorectal_cancer/hic_colostomy.aspx (diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21:47 WIB)
Dean, Jill. Functional management. http://www.ostomy.evansville.net/colostomyirrigation.pdf (diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21:45 WIB)
Smeltzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (1996). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. (edisi 8). Jakarta:EGC
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang, hali ini bisa disebabkan oleh adanya penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli/trombus atau adanya penurunan aliran darah (Smeltzer & Bare, 1996). Klien dengan MI biasanya merasakan nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung terus menerus, terletak di bagian bawah sternum dan perut atas. Nyeri yang tajam dan berat bisa menyebar ke bahu dan lengan biasanya ke kiri. Tidak seperti angina, nyeri ini muncul secara spontan (bukan setelah bekerja berat atau gangguan emosi dan menetap selama beberapa jam sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat maupun nitrogliserin. Pada beberapa kasus nyeri bisa menjalar ke dada dan leher. Nyeri sering disertai dengan napas pendek, pucat, berkeringat dingin, pusing dan kepala ringan dan mual serta muntah. Klien dengan DM mungkin tidak merasa nyeri berat bila tenderita infark miokardium, karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi neuroreseptor seingga menumpulkan nyeri yang dialami.
Pada kasus klien dengan iskemi, cedera, dan infark, terjadi perubahan pada gelombang T, segmen ST, dan gelombang Q pada pemeriksaan EKG klien. Tiga area tersebut bisa tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi bertahap. Yang pertama adalah area yang terluar, yaitu area iskemi dan biasanya yang pertama kali berubah. Gelombang T biasanya melengkung ke bawah karena kekurangan oksigen dan potasium akibat dari adanya kerusakan di sel otot jantung. Normalnya, gelombang T ke atas, lebih besar dari gelombang P dan asimetris. Perubahan yang terjadi berikutnya adalah elevasi segmen ST, yaitu segmen ST biasanya isoelektrik dan tingginya lebih besar dari 1mm. Elevasi segmen ST ini mengindikasikan adanya prolonged, severe injury pada sel miokardium. Segmen ST dapat berelevasi begitu tinggi yang kemudian menyebabkan gelombang T tidak terlihat sampai beberapa hari. Adanya elevasi segmen ST mengindikasikan adanya cedera akut. Disinilah intervensi harus dilakukan. Jika ada gelombang Q tanpa adanya elevasi pada gelombang ST, maka infark tidak akut. Perubahan terakhir yang terjadi adalah pada gelombang Q. Secara bersamaan, gelombang T yang melengkung ke bawah, elevasi segmen ST, dan adanya gelombang Q merupakan tanda-tanda terjadinya nekrosis miokardium yang irreversible. Gelombang Q harus lebih besar dari 0,04 sekon pada lebarnya dan lebih besar 25% tinggi dari gelombang R untuk terjadinya perubahan patologis. Adanya perubahan EKG juga menunjukkan area infark, seperti tabel di bawah ini (Aelhert, 2002 dalam Chernecky, 2006):
Arteri koroner dekstra atau arteri sirkumfleks sinistra
Ventrikel kanan
V1R-V6R
Areteri koroner dekstra—proximal branches.
*leads facing affected areas
**leads opposite affected areas
Pada EKG klien dengan MI akan memiliki tiga perubahan pada II, III, AVf. Dinding inferior MI disebabkan oleh adanya pemblokkan pada Arteri koroner dekstra. Klien yang menderita inferior MI memiliki blok jantung karena arteri koroner dekstra memberikan suplai pada nodus sinoatrial dan antrioventrikular dengan presentase yang besar.
Rehabilitasi Klien dengan MI
Rehabilitasi merupakan komponen dari manajemen personal dan profesional yang esensial, yang dalam kasus ini adalah rehabilitasi klien dengan MI. Tujuan rehabilitasi bagi klien dengan MI adalah mengembangkan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Tujuan jangka pendeknya adalah mengembalikan sesegera mungkin ke gaya hidup normal atau mendekati normal. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengna mendorong aktivitas fisik dan penyesuaian fisik, memberi pendidikan kepada pasien maupun keluarganya dan memulai penyuluhan psikososial dan bimbingan bila diperlukan.
Ada beberapa rekomendasi untuk merencanakan rehabilitasi pada klien dengan IM (Black & Hawks, 2005):
Pola diet kardioprotektif
Anjuran untuk diet secara intensif, pemeriksaan persetujuan (compliance checks), dan tindak lanjut jangka panjang sebaiknya diberikan.
Merekomendasikan suplemen nutrisional seperti vitamin antioksidan, dan mineral untuk mencegah penyakit kardiovaskular
Suplemen ikan dan minyak ikan dapat menurunkan risiko kematian jantung mendadak
Untuk klien dengan berat badan berlebih dan obesitas dengan CHD, kombinasi antara diet rendah energi dan peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan
Tujuan awal terapi penurunan berat badan sebaiknya membuat berat badan klien menurun 10%
Semua klien dengan penyakit kardiovaskular sebaiknya berhenti merokok dan harus didukung untuk terus berhenti merokok sebagai penilaian utama.
Semua klien dengan CHD memiliki farmakoterapi standar dengan aspirin, beta-bloker, ACE inhibitor, dan statin jika tidak ada kontraindikasi.
Rehabilitasi jantung yang komprehensif harus berada di dalam manajemen kasus.
Fase-fase Rehabilitasi Jantung.
Fase I dimulai segera setelah terjadi episode akut penyakit, biasanya pada saat pasien masih di unit perawatan jantung. Setelah episode akut, biasanya klien akan bed rest kurang dari 24 jam jika tidak ada komplikasi seperti gagal jantung atau perkembangan disritmia. Meskipun miokardium harus diistirahatkan, bed rest membuat klien memiliki risiko hipovolemia, hipoksemia, atropi otot, dan pulmonary emboli. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dicegah . Jika klien nausea, berikan diet cairan sampai nausea berkurang. Perawat atau fisioterapi harus memulai latihan pasif. Seiring dengan peningkatan kekuatan klien, biarkan klien untuk duduk di sisi tempat tidur dan mengayunkan kakinya selama beberapa saat. Ambulasi klien ke kursi di sisi tempat tidur selama 15-20 menit setelah hari pertama jika klien dapat mengayunkan kaki tanpa ada nyeri dada, disritmia, atau hipotensi. Saat klien dipindahkan dari unit perawatan jantung ke unit umum atau intermediet, kebebasan penggunaan kamar mandi dan aktivitas perawatan diri dibutuhkan. Wireless heart monitoring (telemetri) dapat dilanjutkan. Izinkan klien untuk berjalan-jalan selama beberapa saat dengan supervision di koridor. Jarak tempuh dan durasi pada jalan-jalan ini meningkat secara progresif.
Klien kehilangan 10% sampai 15% otot skeletal dan kekuatan kontraktilitas selama minggu pertama tirah baring dan 20% sampai 25% setelah mengalami tirah baring selama 3 minggu. Klien harus meningkatkan aktivitasnya untuk mencegah kerja jantung berlebih saat memompakan darah yang berisi oksigen ke otot. Metabolic Equivalent Test (MET) adalah cara untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas: 1MET=3.5 ml O2/kg/min. Mobilisasi awal setelah MI tidak boleh lebih dari 1-2 MET seperti bercukur dan makan. Kaji denyut nadi, tekanan darah, level lelah seiring dengan peningkatan level aktivitas klien. Bantu klien untuk mencegah kelelahan. Selama fase 1, pendidikan kesehatan yang harus diberikan meliputi anatomi jantung, risiko faktor fisiologi dan manajemen CHD, konseling kebiasaan, dan aktivitas di rumah.
Fase 2 terjadi menjelang pemulangan pasien, selama tahap kedua ini perawat dapat membantu pasien ke arah pencapaian tujuan untuk hidup mandiri, meskipun masih dalam tirah baring ketat. Fase ini dicapai dengan mengarahkan pikiran pasien ke masa dimana ia akan dapat aktif kembali. Tujuan disini bukan merubah gayacardiac rehabilitation staff. Beberapa klien dapat kembali bekerja saat minggu ke 8 atau ke 9 jika asimtomatik. Antara minggu ke delapan dank e sepuluh, klien dianjurkan untuk melengkapi pemeriksaan fisik, meliputi EKG, exercise stress tests, analisa lipid, pemeriksaan x-ray dada. Tenaga kesehatan harus memastikan hawa masalah kesehatan yang berkontribusi dalam perkembangan CHD sudah tidak ada (hipertensi, anemia, hipertiroid). hidup pasien secara total, tetapi mendorong penyesuaian yang diperlukan. Sebaiknya hindari perhatian terhadap hal-hal yang tidak bisa dilakukan pasien, melainkan dorong pencapaian jangka pendek dan jangka panjang berdasar kebutuhan masing-masing individu. Perjalanan penyakit perlu dijelaskan, jawab semua pertanyaan dengan Jujur, dan beri keyakinan kepada pasien bahwa kebanyakan orang mampu beraktivitas kembali setelah MI. Pendekatan yang positif ini akan membantu pasien agar tidak mengalami defek jantung. Melanjutkan aktivitas seksual paska MI merupakan hal yang paling sulit. Kegiatan tersebut biasanya boleh dilanjutkan 4-8 bulan setelah MI. Klien harus dapat melakukan aktivitas naik-turun tangga sebelum melanjutkan aktivitas seksualnya. Klien juga tidak boleh makan atau minum yang mengandung alkohol sebelum aktivitas seksual. Anjurkan klien untuk berhenti merokok, anjurkan klien untuk sering berjalan-jalan. Selama fase kedua, klien melakukan latihan otot selama 20-30 menit selama 3-4 kali per minggu dengan dimonitor oleh
Fase 3 dimulai saat pasien pulang ke rumah dan berlangsung selama masa pemulihan, dimulai dari bulan ke 4 sampai bulan ke 6. Tujuan fase 3 adalah mengembalikan aktivitas pasien pada tingkat yang memungkinkannya bekerja atau kembali ke aktivitas yang biasa dilakukan sebelum terjadi penyakit. Fase ini biasanya dilakukan dengan mendaftarkan pasien pada suau program rehabilitasi formal yang mengawasi peningkatan aktivitas pasien. Kebanyakan program seperti ini menjadwalkan pertemuan pada pagi hari, sore hari atau malam sehingga pasien yang telah kembali bekerja dapat menyusun jadwal partemuan sesuai aktivitas harian mereka.
Fase 4 difokuskan pada penyesuaian jangka panjang ada pada pemeliharaan stabilitas kardiovaskuler. Pada fase ini pasien biasanya sudah mampu mengatur diri sendiri dan tidak memerlukan program pengawasan. Tujuan tiap tahap ditentukan dan didasarkan pada pencapaian tahap sebelumnya.
Sepanjangan seluruh tahap rehabilitasi, tujuan aktivitas dan toleransi latihan dicapai melalui penyesuaian fisik, yang dilakukan untuk memperbaiki efisiensi jantung dan tekanan darah yang rendah, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung. Penyesuaian fisik terjadi pada fase I dimulai dengan latihan rentang gerak lengan. fase 2 mencakup duduk di kursi, berjalan, dan naik tangga. fase 3 dapat mencakup jalan lebih cepat, akhirnya fase 4 berupa joging. Penyesuaian fisik hanya boleh dilakukan dibawah pengawasan dokter. Pasien diobservasi selama aktivitas terhadap nyeri dada, dispnu, kelemahan, kelelahan, dan peningkatan frekuensi jantung yang melebihi frekuensi ambang. Bila muncul salah satu gejala tersebut, pasien harus diperingatkan untuk segera mengentikan aktivitasnya dan menghubungi dokter.
Daftar Pustaka
Black, Joyce M.; Hawks, Jane Hokanson. (2005). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes volume 2. (7th Ed). St. Louis: Elsevier Saunders.
Chernecky, Cyntia; et. al. (2006). Saunders nursing survival guide: ECGs & the heart. St. Louis: Elsevier Saunders.
Smetzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (1996). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth volume 2. (Edisi 8). Jakarta: EGC. (Alih bahasa: dr. H.Y. Kuncara, Monica Ester, S. Kp, dr. Andry Hartono, DAN & Yasmin Asih, S. Kp)
Pemberian nutrisi enteral merupakan pemberian nutrient melalui saluran cerna dengan menggunakan sonde (tube feeding). Nutrisi enteral direkomendasikan bagi pasien-pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya secara volunter melalui asupan oral. Pemberian nutrisi enteral dini (yang dimulai dalam 12 jam sampai 48 jam setelah pasien masuk ke dalam perawatan intensif [ICU]) lebih baik dibandingkan pemberian nutrisi parenteral.
Waktu untuk timbulnya gejala-gejala akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat masih belum jelas. Pasien-pasien yang gizinya cukup biasanya dapat mentolerir asupan yang tidak cukup ini dalam 7 sampai 14 hari (ASPEN, 2002). Pasien yang gizinya buruk, sebaliknya membutuhkan intervensi yang cepat. Panduan yang ada saat ini menyampaikan bahwa nutrisi enteral harus dimulai dalam 5 sampai 7 hari bila asupan nutrisinya tidak adekuat (Charney, 2001). Nutrisi enteral tidak perlu diberikan apabila pasien-pasien dengen gizi baik bisa mulai makan kembali dengan normal dalam waktu 5 sampai 7 hari.
Manfaat
Manfaat dari pemberian nutrisi enteral antara lain:
•Mempertahankan fungsi pertahanan dari usus
•Mempertahankan integritas mukosa saluran cerna
•Mempertahankan fungsi-fungsi imunologik mukosa saluran cerna
•Mengurangi proses katabolic
•Menurunkan resiko komplikasi infeksi secara bermakna
•Mempercepat penyembuhan luka
•Lebih murah dibandingkan nutrisi parenteral
•Lama perawatan di rumah sakit menjadi
lebih pendek dibandingkan dengan
Nutrisi Parenteral
Indikasi:
Pasien-pasien yang dapat diberikan nutrisi enteral adalah mereka yang tidak bisa makan, tidak dapat makan, dan tidak cukup makan (ASPEN, 1998)
Kontra indikasi :
Kondisi-kondisi yang mengakibatkan perubahan fungsi saluran cerna (osbtruksi menyeluruh pada saluran cerna bagian distal, perdarahan saluran cerna yang hebat, fistula enterokutan high-output, intractable diarrhea, kelainan congenital pada saluran cerna)
Gangguan perfusi saluran cerna (instabilitas hemodinamik, syok septic)
Rute Pemberian.
Berikut ini adalah jenis rute pemberian nutrisi enteral:
1. Nasogastrik
2. Gastrostomi
3. Jejunostomi
Prosedur Pemberian Nutrisi enteral
Nasogastrik
Langkah-langkah:
1.Cuci tangan
Rasional: mengurangi transmisi mikroorganisme
2.Auskultasi bising usus
Rasional: bising usus menandakan adanya peristaltik dan kemampuan saluran pencernaan untuk mencerna nutrien. Bila bunyi usus tak ada, tunda pemberian makan dan beritahu dokter
3.Pastikan pesanan dokter untuk formula, kecepatan, rute, dan frekuensi
Rasional: Pemberian makan dengan selang harus sesuai instruksi dokter
4.Siapkan kantung dan selang untuk memberikan formula
Rasional: selang harus bebas dari kontaminasi untuk mencegah pertumbuhan bakteri, penempatan formula melalui selang mencegah kelebihan udara masuk ke saluran pencernaan.
5.Jelaskan prosedur pada klien
Rasional: mengurangi ansietas dan meningkatkan kerjasama antara klien dan perawat.
6.Baringkan klien dalam posisi Fowler
Rasional: mengurangi risiko aspirasi
7.Pastikan penempatan selang NG
Rasional: mengurangi risiko aspirasi isi gastrik ke dalam sal. pernapasan
8.Mulai memberi makan
a. Metode bolus atau intermiten
-Pijat ujung proksimal selang makan
Rasional: mencegah udara masuk ke lambung klien
-Hubungkan spuit ke ujung selang dan tinggikan 45 cm diatas kepala klien
Rasional: mengosongkan selang makan secara bertahap dengan bantuan gravitasi dari spuit
-Isi spuit dengan formula. Biarkan spuit kosong secara bertahap
Rasional: Isi ulang sampai jumlah yang dipesankan diberikan pada klien
-Bila digunakan kantung gavage, hubungkan kantung pada ujung selang makan dan tinggikan kantung 45 cm di atas kepala klien. Isi kantung dengan jumlah formula yang dipesankan, kemudian biarkan kantung kosong secara bertahap lebih dari 30 menit.
b. Metode drip kontinyu
Rasional: dirancang untuk pemberian makan perselang dengan kecepatan perjam yang dipesankan. Metiode ini mengurangi risiko diare. Klien yang menerima makanan drip kontinyu harus diperiksa setiap 4 jam
-Gantungkan kantung gavage pada tiang IV
-Hubungan ujung kantung ke ujung proksimal selang.
-Hubungkan pompa infus dan atur kecepatan
9.Bila selang makan tidak sedang digunakan, klem ujung proksimal selang makan
Rasional: mencegah udara masuk ke lambung diantara pemberian makanan
10.Berikan air melalui selang makan bersamaan diantara makan
Rasional: Memberikan klien sumber air untuk membantu mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
11.Bilas kantung dan selang makan dengan air hangat setelah pemberian semua bolus makanan
Rasional: membersihkan selang makan dan mencegah pertumbuhan bakteri
12.Tingkatkan pemberian makan per selang
Rasional: untuk mencegah diare dan intoleransi gastrik terhadap formula
13.Klien tetap pada posisi fowler’s tinggi atau dengan kepala tepat tidur ditinggikan 30 derajat atau lebih selama 30 menit setelah memberikan makan melalui selang. Dengan makan kontinyu klien harus dalam salah satu posisi ini selama makan
Rasional: untuk membantu mempertahankan formula dalam saluran GI. Posisi itu mengurangi risiko klien akan aspirasi
14.Catat jumlah dan jenis makanan, pastikan letak selang, patensi selang, respon klien terhadap makanan, dan adanya efek merugikan.
Rasional: mendokumentasikan status selang makan dan respon klien
Daftar Pustaka
Perry & Potter. (1994). Buku saku Keterampilan dan prosedur dasar. (Edisi 3). Jakarta: EGC (alih bahasa: Monica Ester, S.Kp)
Perry & Potter. (1999). Keperawatan fundamental. Jakarta: EGC
PT. Otsuka Indonesia. (2007). Dasar terapi cairan dan nutrisi. Jakarta: PT Otsuka Indonesia
Blogger.com is an ideal solution for anyone who is just starting their first blog. It is also a great platform for those who are serious about blogging.
I've graduated as Bachelor of science in Nursing, and currently taking Clinical Nurse Program (Program Profesi Ners) at Faculty of Nursing, Universitas Indonesia. Having an interest in Medical Surgical Nursing, especially Neurology and Cardiology.