RSS
Showing posts with label nursing. Show all posts
Showing posts with label nursing. Show all posts

Blount disease

Please do not reupload without permission

oleh. Dewi Lestari Handayani, S.Kep

Definisi

Blount disease (tibia vara) merupakan gangguan pertumbuhan terlokalisasi pada epifisis proksimal yang mengakibatkan deformitas progresif dengan angulasi varus di bawah lutut.

Etiologi
Banyak faktor yang berhubungan dengan penyebab penyakit ini. Blount disease terjadi pada anak-anak dan remaja, penyebabnya masih belum diketahui secara pasti tapi diperkirakan karena:
a. Kelebihan BB anak
b. Berjalan secara dini (<1th)
c. Pasien dengan torsi tibialis internal

Klasifikasi
a. Infantile blount disease
Yaitu genu varum patologis pada anak 0-4 tahun

b. Juvenile blount disease
Yaitu genu varum patologis pada anak 4-10 tahun

c. Adolescent blount disease
Yaitu genu varum patologis pada anak lebih dari usia 10 tahun

Patofisiologi
Pada anak usia kurang dari 2 tahun umumnya, kaki yang menekuk ke dalam itu merupakan sesuatu yang normal sehingga disebut genu varum fisiologis. Pada anak dengan genu varum fisologis ini, kondisi kaki perlahan-lahan meningkat menjadi lurus pada usia 18 bulan hingga seterusnya seiring dengan pertumbuhan anak. Pada usia 3-4 tahun, kaki akan menjadi lurus dan normal.
Blount disease ini terjadi dimulai saat kondisi kaki yang menekuk ke dalam ini tidak mengalami perkembangan yang baik di usia 2-4 tahun. Kaki yang tampak seperti membungkuk ini kemudian membuat tulang berkembang secara abnormal sehingga semakin lama kondisi semakin buruk. Di samping itu, di saat kaki terus berkembang secara abnormal, anak dipaksa untuk berjalan dengan lutut yang menonjol keluar dan terus mengalami perburukan. Hal ini sering disertai dengan kondisi yang disebut tibia torsi internal, jari-jari kaki yang berubah ke dalam. Dalam kondisi ini, anak memiliki kecenderungan untuk lebih sering terjatuh.

Manifestasi Klinis
Satu atau dua kaki berputar ke dalam, disebut "bowing atau membungkuk" dan:
a. terlihat sama pada kedua kaki
b. terjadi hanya pada bagian di bawah lutut
c. mengalami perburukan secara cepat

Masalah keperawatan yang mungkin terjadi:
a. Hambatan berjalan
b. Perubahan nutrisi: lebih dari kebutuhan
c. Risiko cedera
d. Gangguan citra tubuh

Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan Radiologi (X ray)
  • Metaphyseal beaking
  • Metaphyseal-diaphyseal angle (Dreaman) >16 degree
  • Tibiofemoral angle

Terapi
a. Brace, Pada infantile blount disease, namun penggunaan brace ini tidak efektif jika diberikan pada anak yang lebih besar
b. Pembedahan, dapat dilakukan sejak 4 tahun dan dapat menghentikan perburukan dan mencegah kerusakan permanen pada area pertumbuhan tibia.

Daftar Pustaka

De Oria, Matthew J. Blount disease. http://emedicine.medscape.com/articles/1250420-overview (diakses pada 25 Januari 2012 pukul 00:58 WIB)
Kaneshiro, Neil K. Blount disease. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001584.htm (diakses pada 25 Januari 2012 pukul 1:04 WIB)
Krieger, Sharon M. (1999). Pediatric nurse practitioner: Pearls of wisdom. Boston: Boston medical publishing
Moore, Derek. Infantile blount's disease (tibia vara). http://www.orthobullets.com/pediatrics/4050/infantile-blounts-disease-tibia-vara (diakses pada 25 Januari 2012 pukul 1:02 WIB)

Vomiting and its cause

by. Dewi Lestari Handayani, S.Kep

Vomiting or emesis is being coordinated by the centre of emesis in Medulla. It can be started by the afferent neuron into its centre. Vomiting occurs by the respiration muscles contraction and abdomen muscle, it started when the deep inspiration occurs along with the closing of glottis. The contraction of diaphragm is pressing the gastric while abdomen muscle‘s contraction is pressing the abdomen, then intraabdomen pressure increased along with the mucous in gastric. The glottis closed.

Vomiting occurs by some causes:

1. Tactil stimulation (with the finger or spatel)
2. Iritation
3. Intracranial pressure. It occurs when there’s intracerebral bleeding. It also occurs after the brain injury that result in edema or bleeding in intracranial.
4. Rotation or head acceleration that leads dizziness.
5. Severe pain from any organs.
6. Chemical substance, including medicine or toxic agent, that stimulates chemoreceptor in CTZ (chemoreceptor trigger Zone) in the brain that leads to the vomit reflects.
7. Physical vomiting, that trigerred by the emotional factors like stressed or seeing or smelling something.

Reference:
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. Jakarta: EGC

Extrapiramidal motoric control - Decortication & Decerebration-

by. Dewi L. Handayani, S.Kep

The muscle's soft and strong movement is affected by the cerebellum and ganglia basal. As we know that cerebellum is a part of the brain that lied under posterior lobe of the cerebrum, that has a responsibility in coordination, balance, timing, and all the muscle movement starting from motoric center in cortical cerebri.
Ganglia basal is the mass in grisea substation in the middle brain under the hemisphere. it has a function to control the involuntary activity and to keep the basic shape of the voluntary movement. it's keeping the the contractility of the muscle and constant condition of from the extremity. Someone can react right and fast for some olfaction, vision and hearing because of ganglia basal.

Dyskinesia

it happens when someone got the intracranial injury or there's a mass (hemorrhage, abscess, tumor) so he lost his cerebellum's function. Because of this, the muscle tone lose, and feels fatigue, but the symptoms are varied, it depends the wide of the distortion. it can be decortication, or decerebration.
Decortication occurs because of there are lessions in internal capsule or cerebral hemisphere.
Decerebration occurs when there are lessions in the middle brain. flaccid position in decerebration occurs when there's a dysfunction of the bottom brain stem. there are no motoric function, patient looks paralyze. Decerebration is of the indication of brain injury with severe neurology distortion.
image: http://www.zeadmph.com/resources/Decorticate_decerebate_post.jpg

the distortion of ganglia basal doesn't show any paralysis but spasm, where it's consequence is the distortion of the body posture and movement. Patient will show any involuntary movement, forming a hard tremor.

source:
Smeltzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. Jakarta. EGC.


Glasgow Coma Scale

hanya untuk pengingat :)

Dalam pemeriksaan neurologis, ada beberapa poin yang harus dikaji, diantaranya yaitu:
a. Pemeriksaan sistem
b. Pemeriksaan GCS
c. Pemeriksaan Meningeald. Pemeriksaan fungsi serebral
e. Pemeriksaan Saraf Kranial
f. Pemeriksaan fungsi sensorimotorikg. Pemeriksaan refleks tubuh

Sekarang, *sebenarnya hanya sebagai pengingat pribadi sih ^^*, saya akan mencantumkan Pemeriksaan Glasgow Coma Scale atau yang biasa dikenal dengan GCS atau periksa kesadaran. Pemeriksaan ini hampir selalu dilakukan di klinik, terutama pada kasus-kasus kegawatan.
Pada kesadaran kualitatif sendiri, ada beberapa jenis tingkat kesadaran yang dialami klien, dari tingkat yang paling ringan hingga yang berat.

1. CM (Compos Mentis)
Pada state ini, klien berada dalam tingkat kesadaran penuh dan dapat diajak untuk berinteraksi.
2. Apatis
3. Confuse
Dapat terjadi akibat adanya disfungsi otak mendadak.
4. Somnolen
Pada state ini, klien seolah berada di dalam kondisi mengantuk berat, tidak sadar jika diajak bicara, baru akan sadar ketika diberi stimulus kuat (contoh: suara keras, guncangan)
5. Delirium
atau acute confusional state, klien tidak bisa mengontrol dirinya. Bisa muncul akibat efek samping obat-obatan seperti antikolinergik, serta CNS depressant (benzodiazepin & golongan opioid)
6. Sopor atau Stupor
Pada state ini, klien seolah berada di dalam kondisi tidur berat, harus distimulus dengan nyeri hebat untuk membangunkannya
7. Soporokoma
State ini adalah state antara sopor dan koma, kondisi klien tidur berat dengan respon minimal.
8. Koma
Pada state ini, klien tidak menunjukkan respon apapun.

Selamat Belajar ^^~

Referensi:

Hudak, Carolyn M.; Gallo, Barbara M.; Morton, Patricia Gonce. (1998). Critical care nursing: A holistic approach. 7th ed. Philadelphia: Lippincot.


Patofisiologi Necrotizing Enterocolitis

Please do not reupload without permission

-Dewi Lestari Handayani, 0706270371-

Etiologi
Penyakit ini paling sering muncul pada neonatus yang sakit dan merupakan kedaruratan bedah yang paling sering terjadi di antara bayi baru lahir. Skala penyakitnya berbeda-beda, dari yang rendah (dapat sembuh sendiri) sampai berat (inflamasi dan nekrosis menyebar pada lapisan mukosa dan submukosa usus). Penyebab utama terjadinya necrotizing enterocolitis (NEC) yaitu: iskemi pada saluran intestinal, kolonisasi bakteri pada intestine, dan pemberian susu formula, dan gangguan pertahanan pada host. Iskemia dan agen infeksi merupakan faktor predisposisi awal terjadinya NEC, faktor lainnya seperti mediator inflamasi (sitokin), radikal bebas, produk fermentasi bakteri dan toksin, diduga memperparah proses penyakit. Meskipun demikian, patogenesis NEC masih menjadi misteri.

1. Imunitas bayi

Bayi yang memiliki imunitas rendah dan saluran GI yang belum matur, memiliki kemungkinan untuk terserang NEC. Pada saat lahir, mukosa usus bayi belum memiliki antibodi imunoprotektif utama di gastrointestinal, IgA. Karena ASI memiliki faktor protektif nonspesifik dan spesifik seperti sel imunokompeten, IgA, laktoferin, lisozim, dan lactobacillus bifidus growth factor, ASI dapat mengurangi insiden dan keparahan NEC. Pada saluran gastrointestinal yang belum matur, usus belum mampu mencerna makanan dengan baik, terutama makanan-makanan formula. Ditambah lagi, barrier mukosa belum berkembang dengan baik, sehingga dapat terjadi translokasi bakteri dan antigen makanan yang tidak tercerna ke lamina propia sehingga mengaktivasi sel peradangan.

2. Iskemia dan kolonisasi bakteri

Saat mengalami keterbatasan perfusi, terjadi mekanisme pertahanan ubuh yang melindungi otak dan jantung dari kerusakan akibat iskemik, yaitu aliran darah di tubuh diprioritaskan untuk dialirkan ke dua organ tubuh tersebut dengan memindahkan aliran darah dari mesentrika dan renal. Aliran darah mesentrika berada pada prioritas yang sangat rendah saat terjadi hipoksia, sehingga pada neonatus yang mengalami asfiksia, aliran darah ke abdomen, ileum, dan koon menurun drastis selama episode tersebut.
Apabila terjadi gangguan regulasi di mesentrika menuju intestin, maka akan terjadi hipoksia pada area organ tubuh yang mendapatkan aliran darah dari mesentrika yang mencetuskan terjadinya injuri dan disrupsi pada mukosa epitel intestinal. Saat hal tersebut terjadi, bakteri dapat dengan mudah masuk pada area injuri dan mengakibatkan kerusakan jaringan, termasuk nekrosis dan ulserasi.

Skema:
Gangguan regulasi di mesentrika -> bowel ischemia -> injuri dan disrupsi mukosa epitel intestinal-> bakteri masuk ke area injuri -> kerusakan jaringan -> nekrosis, ulserasi.

3. Feeding process

Pada neonatus, terjadi malabsorpsi parsial terhadap konstituen lemak dan karbohidrat pada susu akibat organ tubuh yang belum matur, bakteri-bakteri fermentasi membentuk asam organik, karbon dioksida, dan gas hidrogen hasil nutrient yang tersisa. Saat NEC berkembang, neonatus mengalami kehilangan karbohidrat yang besar pada intestine, mengakibatkan penurunan substansi pada feses dan hydrogen-filled cysts diantara mukosa usus.

Skema:
Feeding process -> Terbentuk gas hydrogen -> gas hydrogen terpenetrasi, terjadi perforasi dinding usus -> gas masuk ke jaringan submukosa (pneumatosis instinalis) & dapat robek ke dalam bantalan vaskular mesentrika

Patofisiologi secara umum
Patogenesis NEC sulit untuk dipahami dan kontroversial, meskipun demikian, patogenesis NEC adalah multifaktor. Ada tiga mekanisme patologis utama dalam proses terjadinya NEC: cedera iskemik pada usus, kolonisasi bakteri usus, dan adanya suatu substrat seperti formula.

Cedera hipoksik/iskemik menyebabkan aliran darah ke usus menurun. Hipoperfusi usus ini selanjutnya merusak mukosa usus, dan sel mukosa yang melapisi usus menghentikan sekresi enzim protektif. Bakteri yang berproliferasi dibantu oleh makanan enteral (substrat), menginvasi mukosa usus yang rusak sehingga terjadi kerusakan usus lebih lanjut karena pelepasan bakteri dan gas hidrogen. Gas mulanya membelah lapisan serosa dan submukosa usus (pneumatosis intestinalis). Gas tersebut juga dapat robek ke dalam bantalan vaskular mesentrika, yang akan didistribusikan ke dalam sistem vena hepar. Tiksin bakterial yang berkombinasi dengan iskemia mengakibatkan nekrosis. Nekrosis usus yang sangat tebal mengakibatkan perforasi dengan pelepasan udara bebas ke dalam ronga peritoneal (pneumoperitoneum) dan peritonitis.




Referensi
Betz, Cecily Lynn; Sowden, Linda A. (2009). Buku saku keperawatan pediatri. Ed.5. Jakarta: EGC (alih bahasa: Eny Meiliya).
Caplan, Michael S; Jilling, Tamas. The pathophysiology of necrotizing enterocolitis. ---
McMillan, Julia A; Feigin, Ralph D; DeAngelis, Catherine; Jones, M.Douglas. (2006). Oski’s pediatrics: principles and practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins.

Distosia: Persalinan Penuh Risiko

P.S. do not copy without permission

Oleh. Dewi Lestari Handayani, 0706270371
Focus Group 3 Kelas A

Definisi
Distosia merupakan persalinan yang panjang, sulit, atau abnormal yang timbul akibat berbagai kondisi yang berhubungan dengan lima faktor persalinan (Bobak, 2005). Diduga, distosia ini terjadi jika kecepatan dilatasi serviks, penurunan dan ekspulsi janin tidak menunjukkan kemajuan, atau jika karakteristik kontraksi uterus menunjukkan perubahan. Lima faktor yang dapat menimbulkan distosia tersebut diantaranya adalah: Persalinan disfungsional, perubahan struktur pelvis, sebab-sebab pada janin, posisi ibu selama persalinan dan melahirkan, respon psikologis ibu terhadap persalinan.

1. Persalinan disfungsional

Yaitu keabnormalan kontraksi uterus yang menghambat kemajuan dilatasi serviks normal, kemajuan effacement (kekuatan primer), atau kemajuan penurunan (kekuatan sekunder)
2. Perubahan struktur pelvis
- Distosia pelvis
Ukuran pelvis yang tidak matur merupakan fraktor predisposisi terjadinya distosia pelvis. Kontraktur pelvis dapat terjadi pada distosia pelvis, disebabkan oleh kelainan kongenital, malnutrisi ibu, neoplasma, gangguan spinal bagian bawah.
a. Kontraktur pintu atas panggul
b. Kontraktur midplane
Kontraktur ini merupakan penyebab umum terjadinya distosia pelvis. Penurunan janin tertahan karena kepala tidak dapat melakukan rotasi internal. Pada kasus ini, kelahiran degan bantuan midforceps dihindari karena morbiditas perinatal akibat intervensi ini meningkat.
c. Kontraktur pintu bawah panggul
- Distosia jaringan lunak
Diakibatkan oleh obstruksi jalan lahir oleh kelainan anatami, bias karena prasenta previa, leiomioma (fibroid uterus) di segmen bawah uterus, tumor ovarium, dan kandung kemih atau rectum penuh.
3. sebab-sebab pada janin
Hal ini bsa disebabkan oleh:
- anomali
janin dengan ascites besar, tumor abnormal mielomeningokel, hidrosefalus
- disproporsi sefalopelvis (ukuran janin yang berlebihan)
ukuran janin yang besar berhubungan dengan DM maternal, obesitas, multiparitas, atau ukuran besar pada salah satu atau kedua orang tua. Hal tersebut dapat didiagnosa dengan pemeriksaan ultrasonografi.


Distosia bahu (shoulder dystocia) dapat terjadi ketika kepala janin dapat melewati jalan lahir, akan tetapi bahunya tertahan lebih lama dari waktu normalnya, dapat disebabkan oleh disproporsi sefalopelvis (ukuran bayi lebih dari 4,5 kg). Kepala bayi bisa keluar akan tetapi bayi mengalami kesulitan untuk bernapas karena dadanya tertekan di pelvis ibu.

Pada bayi, dapat terjadi kerusakan nervus di leher (brachial plexus injury), 10% bayi dengan distosia bahu mengalami hal tersebut, yang menyebabkan paralisis terhadap tangan bayi, meski di banyak kasus, hal tersebut bersifat temporer. Contohnya adalah: Erb’s palsy and Klumpke’s paralysis. Cedera lain pada bayi yaitu fraktur pada lengan atau bahu bayi, juga pada kasus yang parah, kematian akibat kerusakan otak.
Pada ibu, dapat terjadi robekan vagina, perdarahan hebat (postpartum haemorraghe), dampak emosional (kejadian traumatis).
- mal presentasi
yang umum terjadi adalah Occiput posterior presentation, breech presentation (presentasi bokong), Face or brow presentation. Pada presentasi bokong, terdapat beberapa tipe, yaitu: frank breech (paha fetus fleksi, dan lututnya ekstensi), complete breech ( fetus terlihat seperti duduk dengan paha dan lutut fleksi), single or double footling presentation (salah satu atau kedua kaki ekstesi). Pada presentasi bokong, penurunan kepala bisa melambat karena bokong tidak cukup baik berdilatasi seperti kepala janin, dapat juga terjadi prolaps tali pusat jika ketuban pecah. Kelahiran dengan presentasi bokong berhubungan dengan trauma lahir, asfiksia, kelahiran prematur, anomali kognitif, serta mortalitas.
- mal posisi
yang paling umum adalah oksipitoposterior. Persalinan menjadi lebih lama terutama di kala dua.
- kehamilan kembar.
4. posisi ibu selama persalinan dan melahirkan
Terhambatnya gerakan maternal atau pembatasan persalinan terhadap posisi rekumben atau litotomi bisa mengganggu persalinan. Hal tersebut menyebabkan distosia, sehingga dibutuhkan tindakan seperti augmentasi persalinan, forsep, ekstrasi vakum, dan kelahira sesarie.
5. respon psikologis
kadar hormon yang tinggi (beta endorfin, hormon ACTH, kortisol, epinefrin) yang dilepas sebagai respon stress dapat menyebabkan distosia. Tirah baring dan pembatasan gerak juga menambah stress psikologis yang dapat memperberat stress fisiologis pada wanita melahirkan

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perawatan yang perlu dilakukan kepada klien dengan distosia yaitu meliputi pengkajian respon psikologis terhadap persalinan, pengkajian umum berupa frekuensi, lama, dan intensitas kontraksi uterus, status serviks, DJJ, serta status membran. Data lab seperti pH kulit kepala, dapat mengidentifikasi distress janin, hasil ultrasonografi dapat mengidentifikasi masalah disfungsi persalinan potensial yang terkait dengan janin atau panggul ibu. Perawatan kolaboratif yang dapat dilakukan pada klien dengan distosia bermacam-macam dan berbeda-beda tergantung pada indikasinya, diantaranya yaitu:
1. Versi sefalik eksterna (upaya memutar janin dari presentasi bokong atau bahu ke verteks)
2. Percobaan partus (untuk persalinan aktif)
3. Induksi persalinan (dimulainya kontraksi persalinan sebelum awitan spontannya untuk tujuan mempercepat kelahiran)
4. Augmentasi (stimulasi kontraksi uterus setelah persalinan dimulai secara spontan, dilakukan untuk disfungsi persalinan hipotonik)
5. Melahirkan dengan bantuan forceps
6. Ekstrasi vakum (metode pelahiran dengan memasang sebuah cup vakum di kepala janin dan tekanan negatif
7. Kelahiran sesaria

Banyak hal yang dapat berkontribusi dalam distosia atau panjangnya waktu tempuh persalinan. Distosia persalinan sendiri jika tidak diatasi segera akan menimbulkan berbagai komplikasi baik pada bayi ataupun pada ibu dan yang terburuk adalah kematian. Oleh karena itu, tindakan segera dan tepat diperlukan untuk kesejahteraan ibu dan bayi.

Daftar Pustaka
Bobak; Lowendermik; Jensen. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. (Edisi 4). Jakarta: EGC (alih bahasa: Maria A. Wijayarini, S.Kp, MSN & dr. Peter I. Anugerah)
Merck Sharp & Dohme Corp. Fetal dystocia. http://www.merck.com/mmpe/sec18/ch264/ch264d.html (diakses pada 2 Oktober 2010 pukul 20:06 WIB)
Norwitz, Errol R.; Chez, Bonnie Flood; Gonik, Bernard. Reduce shoulder dystocia injuries. http://www.healthstream.com/ShoulderDyst/ (diakses pada 2 Oktober 2010 pukul 20:01 WIB)
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. A difficult birth: what is shoulder dystocia? http://www.rcog.org.uk/womens-health/clinical-guidance/difficult-birth-what-shoulder-dystocia (diakses pada 2 Oktober 2010 pukul 20:04 WIB

Systemic Lupus Erythematosus

Do not copy without permission

Sekilas tentang Systemic Lupus Erythematosus
-oleh: Dewi Lestari Handayani, FIK UI 2007-

Patofisiologi
SLE ini merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe III, yaitu reaksi akibat kegagalan imun dan system fagosit untuk lepas dari imun kompleks antigen-antibodi. Penyakit ini diperkirakan terjadi karena adanya gangguan pada regulasi imun yang menyebabkan meningkatnya autoantibodi yang berlebihan. Gangguan ini muncul akibat kombinasi faktor-faktor genetic, hormonal, dan lingkungan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody ini diperkirakan terjadi akibat keabnormalan fungsi sel T-supresor sehingga terjadi penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Mekanisme pasti tidak diketahui, akan tetapi, sekali terbentuk, anti-DNA autoantidbodi dapat bereaksi dengan DNA dari sel-sel yang rusak di tubuh sehingga menyebabkan munculnya respon inflamasi karena adanya peningkatan kerusakan sel dan pembentukan antigen-antibodi imun kompleks sebagai respon inflamasi.

Manifestasi Klinis:
Tanda dan gejala pada orang yang menderita lupus eritematosus sistemik bervariasi (tergantung organ yang diserang) dan dapat bersifat perlahan-lahan dan tidak jelas. Biasanya, tanda dan gejala yang muncul adalah:
a. Ginjal
Nefritis, glomerulonefritis

b. Kulit
Rash eritematosus pada kulit yang terkena, purpura, alopecia, ulkus mukosa, yang dapat mengenai palatum durum disertai dengan eksaserbasi nodul subkutan, splinter hemorrhages

c. Sistem Saraf Pusat
Neuritis, seizures (kejang), depresi, psikosis

d. Lain-lain
Arthritis/poliarthralgia, perikarditis, restrictive pulmonary disease, perubahan retina, trombositopenia, anemia, ulkus gastrointestinal, perikarditis (paling sering ditemukan) disertai efusi pleura, limfanodenopati (50%pasien SLE) selama perjalanan penyakit tersebut,

Referensi:
Copstead & Banasik. (2000). Pathophysiology: Biological and behavioral perspectives volume 2. (2nd ed). Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Smeltzer & Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddarth volume 3. (Ed. 8). Jakarta: EGC

Kolostomi

Oleh. Dewi Lestari Handayani, 0706270371

Definisi
Kolostomi dilakukan pada kurang dari sepertiga pasien kanker kolorektal. Kolostomi (stoma) pada kolon secara bedah. Stoma ini dapat berfungsi sebagai diversi sementara atau permanent. Ini memungkinkan drainase atau evakuasi isi kolon keluar tubuh. Konsistensi drainase dihubungkan dengan penempatan kolostomi yang ditentukan oleh lokasi tumor dan luasnya invasi pada jaringan sekitar.

Komplikasi Kolostomi
Insiden komplikasi untuk pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi dibandingkan pasien ileostomi. Beberapa komplikasi yang umum adalah prolaps stoma (biasanya akibat dari obesitas), perforasi (akibat ketidaktepatan irigasi stoma), retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit. Kebocoran dari anastomosis usus menyebabkan distensi abdomen dan kekakuan, peningkatan suhu, serta tanda syok. Perbaikan pembedahan diperlukan.
Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dianggap beresiko, khususnya bila mereka telah mendapat antibiotic atau sedatif, atau dipertahankan tirah baring untuk waktu lama. Dua komplikasi paru primer adalah pneumonia dan atelektasis. Komplikasi ini dapat dicegah seriing beraktivitas (membalik pasien dari satu sisi ke sisi lain setiap 2 jam), napas dalam, batuk, dan ambulasi dini

Pasien yang memerlukan kolostomiIntervensi keperawatan pre-operatif
Dukungan psikososial
Tindakan kolostomi memberikan beberapa pengaruh terhadap klien, diantaranya:
a. Kolostomi dapat menjadi hal yang traumatis bagi klien
b. 25% klien tidak menerima stoma mereka
c. aktivitas sosial dan fungsi seksual klien terganggu
d. klien tidak dapat mengontrol pengosongan kolon merekaKlien yang menjalani pembedahan untuk kolostomi sementara dapat mengekspresikan rasa takut dan masalah yang serupa dengan klien yang memiliki stoma permanen. Semua tim kesehatan dan keluarga harus ada di samping klien untuk memberikan dukungan.Perubahan yang terjadi pada citra tubuh dan gaya hidup sering sangat mengganggu, dan klien memerlukan dukungan empatis dalam mencoba menyesuaikannya. Karena stoma ditempatkan pada abdomen, klien dapat berpikir bahwa setiap orang akan melihat ostomi. Perawat dapat membantu mengurangi ketakutan ini dengan memberikan informasi aktual tentang prosedur pembedahan dan pembentukan serta penatalaksanaan ostomi. Berikan kesempatan pada klien untuk mengajukan pertanyaan. Penerimaan dan pengertian perawat terhadap masalah dan perasaan klien, menunjukkan sikap kompeten yang meningkatkan percaya diri dan kerjasama.

Persiapan pembedahan
Untuk persiapan pembedahan, diet tinggi kalori dan rendah residu diberikan selama beberapa hari sebelum pembedahan, bila waktu dan kondisi klien memungkinkan. Apabila tidak terdapat situasi kedaruratan, tindakan praoperatif dilakukan serupa dengan pembedahan abdomen umumnya.
Terapi komponen darah dapat diberikan karena biasanya terjadi anemia. Intubasi nasogastrik praoperatif dapat diindikasikan untuk meminimalkan distensi pada periode pascaoperatif. Kateter indwelling dipasang untuk membantu mempertahankan balitan perineal pascaoperatif tetap kering.

Intervensi keperawatan post-operatif
Klien dipantau terhadap tanda komplikasi yang mungkin muncul pasca tindakan kolostomi. Hal ini mencakup kebocoran dari sisi anastomosis, prolaps stoma, perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal, dan iritasi kulit, serta komplikasi paru yang dihubungkan dengan bedah abdomen. Abdomen dipantau terhadap tanda kembalinya peristaltik dan kaji karakteristik feses.
Klien yang menjalani kolostomi dibantu turun dari tempat tidur pada hari pertama pascaoperatif dan didorong untuk mulai berpartisipasi dalam menghadapi kolostomi. Kembalinya diet ke pola normal berlangsung sangat cepat. Sedikitnya 2 L cairan per hari dianjurkan.Beberapa pasien mengalami pelambatan eliminasi setelah irigasi akibat penurunan peristaltik dan produksi mukus. Kebanyakan pasien membutuhkan waktu sampai 6 bulan untuk merasa nyaman dengan perawatan ostomi mereka.

Menangani kolostomi
Fungsi kolostomi akan mulai tampak pada hari ke 3 sampai hari ke 6 pascaoperatif. Perawat menangani kolostomi sampai klien dapat mengambil alih perawatan ini. Perawatan kulit harus diajarkan bersamaan dengan bagaimana menerapkan drainase kantung dan melaksanakan irigasi.

a. Perawatan kulit.
Pada kolostomi transversal, terdapat feses lunak dan berlendir yang mengiritasi kulit, sedangkan pada kolostomi descenden atau sigmoid, feses agak padat dan sedikit mengiritasi kulit. Klien dianjurkan melindungi perstoma dengan sering mencuci area tersebut menggunakan sabun ringan, memberikan barier kulit protektif disekitar stoma dan mengamankannya dengan melekatkan kantung drainase. Mycostatin dapat ditebarkan sedikit pada kulit peristoma bila terdapat iritasi atau pertumbuhan jamur.

Kulit dibersihkan dengan perlahan dengan sabun dan waslap lembab serta lembut. Selama kulit dibersihkan, kasa dapat digunakan untuk menutupi stoma atau tampon vagina dapat dimasukkan perlahan untuk mengabsorpsi kelebihan drainase. Hindari menggosok area tersebut.

b. Memasang kantung drainase
Stoma diukur untuk menentukan ukuran kantung yang tepat. Lubang kantung harus sekitar 0,3 cm lebih besar dari stoma. Kulit dibersihkan sesuai prosedur diatas. Barier kulit peristoma dipasang. Kantung kemudian dipasang dengan cara membuka kertas perekat dan menekannya di atas stoma selama 30 detik.

c. Menangani kantung drainase
Kantung kolostomi dapat digunakan setelah irigasi; dan diganti dengan balutan yang lebih sederhana. Klien dapat memilih berbagai bentuk kantung, tergantung pada kebutuhan individu.
d. Mengangkat alat
Alat drainase diganti bila isinya telah mencapai sepertiga sampai seperempat bagian sehingga berat isinya tidak menyebabkan kantung lepas dari diskus perekatnya dan keluarnya isinya. Klien dapat memilih posisi duduk atau berdiri yang nyaman dan dengan perlahan mendorong kulit menjauh dari permukaan piringan sambil menarik kantung ke atas dan menjauh dari stoma.
e. Mengirigasi kolostomi
Tujuan irigasi kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon dari gas, mukus, dan feses sehingga klien dapat menjalankan aktivitas sosial dan bisnis tanpa rasa takut terjadi drainasi fekal. Dengan mengirigasi stoma pada waktu yang teratur, terdapat sedikit gas dan retensi cairan pengirigasi.

Prosedur Mengirigasi Kolostomi
Prosedur perawatan kolostomi
1. Persiapan
a. Persiapan pasien
1) Mengucapkan salam terapeutik
2) Memperkenalkan diri
3) Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan.
4) Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
5) Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
6) Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
7) Privacy klien selama komunikasi dihargai.
8) Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
9) Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
b. Persiapan alat
1) Sarung tangan bersih
2) Handuk mandi/selimut mandi
3) Air hangat
4) Sabun mandi yang lembut
5) Tissue
6) Kantong kolostomi bersih
7) Bengkok/pispot
8) Kassa
9) Tempat sampah
10) Gunting
2. Prosedur
a. Menjealskan prosedur
b. Mendekatkan alat-alat kedekat klien
c. Pasang selimut mandi/handuk
d. Dekatkan bengkok kedekat klien
e. Pasang sarung tangan bersih
f. Buka kantong lama dan buang ketempat bersih
g. Bersihkan stoma dan kulit sekitar dengan menggunakan sabun dan cairan hangat
h. Lindungi stoma dengan tissue atau kassa agar feces tidak mengotori kulit yang sudah dibersihkan
i. Keringkan kulit sekitar stoma dengan tissue atau kassa
j. Pasang kantong stoma
k. Buka sarung tangan
l. Bereskan alat
m. Rapihkan pasien
n. Mencuci tangan
o. Melaksanakan dokumentasi :
1) Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
2) Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien

Referensi:
Cleveland clinic. Colostomy. http://my.clevelandclinic.org/disorders/colorectal_cancer/hic_colostomy.aspx (diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21:47 WIB)

Dean, Jill. Functional management. http://www.ostomy.evansville.net/colostomyirrigation.pdf (diakses pada 6 Mei 2010 pukul 21:45 WIB)

Smeltzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (1996). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. (edisi 8). Jakarta:EGC

Rehabilitasi Klien dengan STEMI

Oleh Dewi Lestari Handayani, 0706270371

Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang, hali ini bisa disebabkan oleh adanya penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total arteri oleh emboli/trombus atau adanya penurunan aliran darah (Smeltzer & Bare, 1996). Klien dengan MI biasanya merasakan nyeri dada yang tiba-tiba dan berlangsung terus menerus, terletak di bagian bawah sternum dan perut atas. Nyeri yang tajam dan berat bisa menyebar ke bahu dan lengan biasanya ke kiri. Tidak seperti angina, nyeri ini muncul secara spontan (bukan setelah bekerja berat atau gangguan emosi dan menetap selama beberapa jam sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat maupun nitrogliserin. Pada beberapa kasus nyeri bisa menjalar ke dada dan leher. Nyeri sering disertai dengan napas pendek, pucat, berkeringat dingin, pusing dan kepala ringan dan mual serta muntah. Klien dengan DM mungkin tidak merasa nyeri berat bila tenderita infark miokardium, karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi neuroreseptor seingga menumpulkan nyeri yang dialami.

Pada kasus klien dengan iskemi, cedera, dan infark, terjadi perubahan pada gelombang T, segmen ST, dan gelombang Q pada pemeriksaan EKG klien. Tiga area tersebut bisa tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi bertahap. Yang pertama adalah area yang terluar, yaitu area iskemi dan biasanya yang pertama kali berubah. Gelombang T biasanya melengkung ke bawah karena kekurangan oksigen dan potasium akibat dari adanya kerusakan di sel otot jantung. Normalnya, gelombang T ke atas, lebih besar dari gelombang P dan asimetris. Perubahan yang terjadi berikutnya adalah elevasi segmen ST, yaitu segmen ST biasanya isoelektrik dan tingginya lebih besar dari 1mm. Elevasi segmen ST ini mengindikasikan adanya prolonged, severe injury pada sel miokardium. Segmen ST dapat berelevasi begitu tinggi yang kemudian menyebabkan gelombang T tidak terlihat sampai beberapa hari. Adanya elevasi segmen ST mengindikasikan adanya cedera akut. Disinilah intervensi harus dilakukan. Jika ada gelombang Q tanpa adanya elevasi pada gelombang ST, maka infark tidak akut. Perubahan terakhir yang terjadi adalah pada gelombang Q. Secara bersamaan, gelombang T yang melengkung ke bawah, elevasi segmen ST, dan adanya gelombang Q merupakan tanda-tanda terjadinya nekrosis miokardium yang irreversible. Gelombang Q harus lebih besar dari 0,04 sekon pada lebarnya dan lebih besar 25% tinggi dari gelombang R untuk terjadinya perubahan patologis. Adanya perubahan EKG juga menunjukkan area infark, seperti tabel di bawah ini (Aelhert, 2002 dalam Chernecky, 2006):

Lokasi MI

Indikasi perubahan*

Reciprocal Changes**

Arteri koroner yang terpengaruh

Lateral

I,aVL, V5,V6

V1-V3

Arteri koroner sinistra –circumflex branch

Inferior

II,III, aVf

I,aVL

Arteri koroner dekstra—posterior descending branch

Septum

V1,V2

None

Arteri koroner sinistra—left anterior descending artery, septal branch

Anterior

V3,V4

II,III,AVf

Arteri koroner sinistra—left anterior descending artery, diagonal branch

Posterior

Tidak tervisualisasi

V1,V2,V3,V4

Arteri koroner dekstra atau arteri sirkumfleks sinistra

Ventrikel kanan

V1R-V6R


Areteri koroner dekstra—proximal branches.

*leads facing affected areas

**leads opposite affected areas

Pada EKG klien dengan MI akan memiliki tiga perubahan pada II, III, AVf. Dinding inferior MI disebabkan oleh adanya pemblokkan pada Arteri koroner dekstra. Klien yang menderita inferior MI memiliki blok jantung karena arteri koroner dekstra memberikan suplai pada nodus sinoatrial dan antrioventrikular dengan presentase yang besar.

Rehabilitasi Klien dengan MI

Rehabilitasi merupakan komponen dari manajemen personal dan profesional yang esensial, yang dalam kasus ini adalah rehabilitasi klien dengan MI. Tujuan rehabilitasi bagi klien dengan MI adalah mengembangkan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Tujuan jangka pendeknya adalah mengembalikan sesegera mungkin ke gaya hidup normal atau mendekati normal. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai dengna mendorong aktivitas fisik dan penyesuaian fisik, memberi pendidikan kepada pasien maupun keluarganya dan memulai penyuluhan psikososial dan bimbingan bila diperlukan.

Ada beberapa rekomendasi untuk merencanakan rehabilitasi pada klien dengan IM (Black & Hawks, 2005):

  1. Pola diet kardioprotektif
  2. Anjuran untuk diet secara intensif, pemeriksaan persetujuan (compliance checks), dan tindak lanjut jangka panjang sebaiknya diberikan.
  3. Merekomendasikan suplemen nutrisional seperti vitamin antioksidan, dan mineral untuk mencegah penyakit kardiovaskular
  4. Suplemen ikan dan minyak ikan dapat menurunkan risiko kematian jantung mendadak
  5. Untuk klien dengan berat badan berlebih dan obesitas dengan CHD, kombinasi antara diet rendah energi dan peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan
  6. Tujuan awal terapi penurunan berat badan sebaiknya membuat berat badan klien menurun 10%
  7. Semua klien dengan penyakit kardiovaskular sebaiknya berhenti merokok dan harus didukung untuk terus berhenti merokok sebagai penilaian utama.
  8. Semua klien dengan CHD memiliki farmakoterapi standar dengan aspirin, beta-bloker, ACE inhibitor, dan statin jika tidak ada kontraindikasi.
  9. Rehabilitasi jantung yang komprehensif harus berada di dalam manajemen kasus.

Fase-fase Rehabilitasi Jantung.

Fase I dimulai segera setelah terjadi episode akut penyakit, biasanya pada saat pasien masih di unit perawatan jantung. Setelah episode akut, biasanya klien akan bed rest kurang dari 24 jam jika tidak ada komplikasi seperti gagal jantung atau perkembangan disritmia. Meskipun miokardium harus diistirahatkan, bed rest membuat klien memiliki risiko hipovolemia, hipoksemia, atropi otot, dan pulmonary emboli. Oleh karena itu, hal tersebut perlu dicegah . Jika klien nausea, berikan diet cairan sampai nausea berkurang. Perawat atau fisioterapi harus memulai latihan pasif. Seiring dengan peningkatan kekuatan klien, biarkan klien untuk duduk di sisi tempat tidur dan mengayunkan kakinya selama beberapa saat. Ambulasi klien ke kursi di sisi tempat tidur selama 15-20 menit setelah hari pertama jika klien dapat mengayunkan kaki tanpa ada nyeri dada, disritmia, atau hipotensi. Saat klien dipindahkan dari unit perawatan jantung ke unit umum atau intermediet, kebebasan penggunaan kamar mandi dan aktivitas perawatan diri dibutuhkan. Wireless heart monitoring (telemetri) dapat dilanjutkan. Izinkan klien untuk berjalan-jalan selama beberapa saat dengan supervision di koridor. Jarak tempuh dan durasi pada jalan-jalan ini meningkat secara progresif.

Klien kehilangan 10% sampai 15% otot skeletal dan kekuatan kontraktilitas selama minggu pertama tirah baring dan 20% sampai 25% setelah mengalami tirah baring selama 3 minggu. Klien harus meningkatkan aktivitasnya untuk mencegah kerja jantung berlebih saat memompakan darah yang berisi oksigen ke otot. Metabolic Equivalent Test (MET) adalah cara untuk mengukur jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam melakukan aktivitas: 1MET=3.5 ml O2/kg/min. Mobilisasi awal setelah MI tidak boleh lebih dari 1-2 MET seperti bercukur dan makan. Kaji denyut nadi, tekanan darah, level lelah seiring dengan peningkatan level aktivitas klien. Bantu klien untuk mencegah kelelahan. Selama fase 1, pendidikan kesehatan yang harus diberikan meliputi anatomi jantung, risiko faktor fisiologi dan manajemen CHD, konseling kebiasaan, dan aktivitas di rumah.

Fase 2 terjadi menjelang pemulangan pasien, selama tahap kedua ini perawat dapat membantu pasien ke arah pencapaian tujuan untuk hidup mandiri, meskipun masih dalam tirah baring ketat. Fase ini dicapai dengan mengarahkan pikiran pasien ke masa dimana ia akan dapat aktif kembali. Tujuan disini bukan merubah gayacardiac rehabilitation staff. Beberapa klien dapat kembali bekerja saat minggu ke 8 atau ke 9 jika asimtomatik. Antara minggu ke delapan dank e sepuluh, klien dianjurkan untuk melengkapi pemeriksaan fisik, meliputi EKG, exercise stress tests, analisa lipid, pemeriksaan x-ray dada. Tenaga kesehatan harus memastikan hawa masalah kesehatan yang berkontribusi dalam perkembangan CHD sudah tidak ada (hipertensi, anemia, hipertiroid). hidup pasien secara total, tetapi mendorong penyesuaian yang diperlukan. Sebaiknya hindari perhatian terhadap hal-hal yang tidak bisa dilakukan pasien, melainkan dorong pencapaian jangka pendek dan jangka panjang berdasar kebutuhan masing-masing individu. Perjalanan penyakit perlu dijelaskan, jawab semua pertanyaan dengan Jujur, dan beri keyakinan kepada pasien bahwa kebanyakan orang mampu beraktivitas kembali setelah MI. Pendekatan yang positif ini akan membantu pasien agar tidak mengalami defek jantung. Melanjutkan aktivitas seksual paska MI merupakan hal yang paling sulit. Kegiatan tersebut biasanya boleh dilanjutkan 4-8 bulan setelah MI. Klien harus dapat melakukan aktivitas naik-turun tangga sebelum melanjutkan aktivitas seksualnya. Klien juga tidak boleh makan atau minum yang mengandung alkohol sebelum aktivitas seksual. Anjurkan klien untuk berhenti merokok, anjurkan klien untuk sering berjalan-jalan. Selama fase kedua, klien melakukan latihan otot selama 20-30 menit selama 3-4 kali per minggu dengan dimonitor oleh

Fase 3 dimulai saat pasien pulang ke rumah dan berlangsung selama masa pemulihan, dimulai dari bulan ke 4 sampai bulan ke 6. Tujuan fase 3 adalah mengembalikan aktivitas pasien pada tingkat yang memungkinkannya bekerja atau kembali ke aktivitas yang biasa dilakukan sebelum terjadi penyakit. Fase ini biasanya dilakukan dengan mendaftarkan pasien pada suau program rehabilitasi formal yang mengawasi peningkatan aktivitas pasien. Kebanyakan program seperti ini menjadwalkan pertemuan pada pagi hari, sore hari atau malam sehingga pasien yang telah kembali bekerja dapat menyusun jadwal partemuan sesuai aktivitas harian mereka.

Fase 4 difokuskan pada penyesuaian jangka panjang ada pada pemeliharaan stabilitas kardiovaskuler. Pada fase ini pasien biasanya sudah mampu mengatur diri sendiri dan tidak memerlukan program pengawasan. Tujuan tiap tahap ditentukan dan didasarkan pada pencapaian tahap sebelumnya.

Sepanjangan seluruh tahap rehabilitasi, tujuan aktivitas dan toleransi latihan dicapai melalui penyesuaian fisik, yang dilakukan untuk memperbaiki efisiensi jantung dan tekanan darah yang rendah, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung. Penyesuaian fisik terjadi pada fase I dimulai dengan latihan rentang gerak lengan. fase 2 mencakup duduk di kursi, berjalan, dan naik tangga. fase 3 dapat mencakup jalan lebih cepat, akhirnya fase 4 berupa joging. Penyesuaian fisik hanya boleh dilakukan dibawah pengawasan dokter. Pasien diobservasi selama aktivitas terhadap nyeri dada, dispnu, kelemahan, kelelahan, dan peningkatan frekuensi jantung yang melebihi frekuensi ambang. Bila muncul salah satu gejala tersebut, pasien harus diperingatkan untuk segera mengentikan aktivitasnya dan menghubungi dokter.

Daftar Pustaka

Black, Joyce M.; Hawks, Jane Hokanson. (2005). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes volume 2. (7th Ed). St. Louis: Elsevier Saunders.

Chernecky, Cyntia; et. al. (2006). Saunders nursing survival guide: ECGs & the heart. St. Louis: Elsevier Saunders.

Smetzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (1996). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth volume 2. (Edisi 8). Jakarta: EGC. (Alih bahasa: dr. H.Y. Kuncara, Monica Ester, S. Kp, dr. Andry Hartono, DAN & Yasmin Asih, S. Kp)