RSS

Vomiting and its cause

by. Dewi Lestari Handayani, S.Kep

Vomiting or emesis is being coordinated by the centre of emesis in Medulla. It can be started by the afferent neuron into its centre. Vomiting occurs by the respiration muscles contraction and abdomen muscle, it started when the deep inspiration occurs along with the closing of glottis. The contraction of diaphragm is pressing the gastric while abdomen muscle‘s contraction is pressing the abdomen, then intraabdomen pressure increased along with the mucous in gastric. The glottis closed.

Vomiting occurs by some causes:

1. Tactil stimulation (with the finger or spatel)
2. Iritation
3. Intracranial pressure. It occurs when there’s intracerebral bleeding. It also occurs after the brain injury that result in edema or bleeding in intracranial.
4. Rotation or head acceleration that leads dizziness.
5. Severe pain from any organs.
6. Chemical substance, including medicine or toxic agent, that stimulates chemoreceptor in CTZ (chemoreceptor trigger Zone) in the brain that leads to the vomit reflects.
7. Physical vomiting, that trigerred by the emotional factors like stressed or seeing or smelling something.

Reference:
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem. Jakarta: EGC

Extrapiramidal motoric control - Decortication & Decerebration-

by. Dewi L. Handayani, S.Kep

The muscle's soft and strong movement is affected by the cerebellum and ganglia basal. As we know that cerebellum is a part of the brain that lied under posterior lobe of the cerebrum, that has a responsibility in coordination, balance, timing, and all the muscle movement starting from motoric center in cortical cerebri.
Ganglia basal is the mass in grisea substation in the middle brain under the hemisphere. it has a function to control the involuntary activity and to keep the basic shape of the voluntary movement. it's keeping the the contractility of the muscle and constant condition of from the extremity. Someone can react right and fast for some olfaction, vision and hearing because of ganglia basal.

Dyskinesia

it happens when someone got the intracranial injury or there's a mass (hemorrhage, abscess, tumor) so he lost his cerebellum's function. Because of this, the muscle tone lose, and feels fatigue, but the symptoms are varied, it depends the wide of the distortion. it can be decortication, or decerebration.
Decortication occurs because of there are lessions in internal capsule or cerebral hemisphere.
Decerebration occurs when there are lessions in the middle brain. flaccid position in decerebration occurs when there's a dysfunction of the bottom brain stem. there are no motoric function, patient looks paralyze. Decerebration is of the indication of brain injury with severe neurology distortion.
image: http://www.zeadmph.com/resources/Decorticate_decerebate_post.jpg

the distortion of ganglia basal doesn't show any paralysis but spasm, where it's consequence is the distortion of the body posture and movement. Patient will show any involuntary movement, forming a hard tremor.

source:
Smeltzer, Suzanne C.; Bare, Brenda G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. Jakarta. EGC.


todai

it seems impossible, but that's my aim....


I wonder if I can fulfill this dream in less than 5 years from now.
God, I wish for You...

I want to take a master degree there..

Glasgow Coma Scale

hanya untuk pengingat :)

Dalam pemeriksaan neurologis, ada beberapa poin yang harus dikaji, diantaranya yaitu:
a. Pemeriksaan sistem
b. Pemeriksaan GCS
c. Pemeriksaan Meningeald. Pemeriksaan fungsi serebral
e. Pemeriksaan Saraf Kranial
f. Pemeriksaan fungsi sensorimotorikg. Pemeriksaan refleks tubuh

Sekarang, *sebenarnya hanya sebagai pengingat pribadi sih ^^*, saya akan mencantumkan Pemeriksaan Glasgow Coma Scale atau yang biasa dikenal dengan GCS atau periksa kesadaran. Pemeriksaan ini hampir selalu dilakukan di klinik, terutama pada kasus-kasus kegawatan.
Pada kesadaran kualitatif sendiri, ada beberapa jenis tingkat kesadaran yang dialami klien, dari tingkat yang paling ringan hingga yang berat.

1. CM (Compos Mentis)
Pada state ini, klien berada dalam tingkat kesadaran penuh dan dapat diajak untuk berinteraksi.
2. Apatis
3. Confuse
Dapat terjadi akibat adanya disfungsi otak mendadak.
4. Somnolen
Pada state ini, klien seolah berada di dalam kondisi mengantuk berat, tidak sadar jika diajak bicara, baru akan sadar ketika diberi stimulus kuat (contoh: suara keras, guncangan)
5. Delirium
atau acute confusional state, klien tidak bisa mengontrol dirinya. Bisa muncul akibat efek samping obat-obatan seperti antikolinergik, serta CNS depressant (benzodiazepin & golongan opioid)
6. Sopor atau Stupor
Pada state ini, klien seolah berada di dalam kondisi tidur berat, harus distimulus dengan nyeri hebat untuk membangunkannya
7. Soporokoma
State ini adalah state antara sopor dan koma, kondisi klien tidur berat dengan respon minimal.
8. Koma
Pada state ini, klien tidak menunjukkan respon apapun.

Selamat Belajar ^^~

Referensi:

Hudak, Carolyn M.; Gallo, Barbara M.; Morton, Patricia Gonce. (1998). Critical care nursing: A holistic approach. 7th ed. Philadelphia: Lippincot.


Patofisiologi Necrotizing Enterocolitis

Please do not reupload without permission

-Dewi Lestari Handayani, 0706270371-

Etiologi
Penyakit ini paling sering muncul pada neonatus yang sakit dan merupakan kedaruratan bedah yang paling sering terjadi di antara bayi baru lahir. Skala penyakitnya berbeda-beda, dari yang rendah (dapat sembuh sendiri) sampai berat (inflamasi dan nekrosis menyebar pada lapisan mukosa dan submukosa usus). Penyebab utama terjadinya necrotizing enterocolitis (NEC) yaitu: iskemi pada saluran intestinal, kolonisasi bakteri pada intestine, dan pemberian susu formula, dan gangguan pertahanan pada host. Iskemia dan agen infeksi merupakan faktor predisposisi awal terjadinya NEC, faktor lainnya seperti mediator inflamasi (sitokin), radikal bebas, produk fermentasi bakteri dan toksin, diduga memperparah proses penyakit. Meskipun demikian, patogenesis NEC masih menjadi misteri.

1. Imunitas bayi

Bayi yang memiliki imunitas rendah dan saluran GI yang belum matur, memiliki kemungkinan untuk terserang NEC. Pada saat lahir, mukosa usus bayi belum memiliki antibodi imunoprotektif utama di gastrointestinal, IgA. Karena ASI memiliki faktor protektif nonspesifik dan spesifik seperti sel imunokompeten, IgA, laktoferin, lisozim, dan lactobacillus bifidus growth factor, ASI dapat mengurangi insiden dan keparahan NEC. Pada saluran gastrointestinal yang belum matur, usus belum mampu mencerna makanan dengan baik, terutama makanan-makanan formula. Ditambah lagi, barrier mukosa belum berkembang dengan baik, sehingga dapat terjadi translokasi bakteri dan antigen makanan yang tidak tercerna ke lamina propia sehingga mengaktivasi sel peradangan.

2. Iskemia dan kolonisasi bakteri

Saat mengalami keterbatasan perfusi, terjadi mekanisme pertahanan ubuh yang melindungi otak dan jantung dari kerusakan akibat iskemik, yaitu aliran darah di tubuh diprioritaskan untuk dialirkan ke dua organ tubuh tersebut dengan memindahkan aliran darah dari mesentrika dan renal. Aliran darah mesentrika berada pada prioritas yang sangat rendah saat terjadi hipoksia, sehingga pada neonatus yang mengalami asfiksia, aliran darah ke abdomen, ileum, dan koon menurun drastis selama episode tersebut.
Apabila terjadi gangguan regulasi di mesentrika menuju intestin, maka akan terjadi hipoksia pada area organ tubuh yang mendapatkan aliran darah dari mesentrika yang mencetuskan terjadinya injuri dan disrupsi pada mukosa epitel intestinal. Saat hal tersebut terjadi, bakteri dapat dengan mudah masuk pada area injuri dan mengakibatkan kerusakan jaringan, termasuk nekrosis dan ulserasi.

Skema:
Gangguan regulasi di mesentrika -> bowel ischemia -> injuri dan disrupsi mukosa epitel intestinal-> bakteri masuk ke area injuri -> kerusakan jaringan -> nekrosis, ulserasi.

3. Feeding process

Pada neonatus, terjadi malabsorpsi parsial terhadap konstituen lemak dan karbohidrat pada susu akibat organ tubuh yang belum matur, bakteri-bakteri fermentasi membentuk asam organik, karbon dioksida, dan gas hidrogen hasil nutrient yang tersisa. Saat NEC berkembang, neonatus mengalami kehilangan karbohidrat yang besar pada intestine, mengakibatkan penurunan substansi pada feses dan hydrogen-filled cysts diantara mukosa usus.

Skema:
Feeding process -> Terbentuk gas hydrogen -> gas hydrogen terpenetrasi, terjadi perforasi dinding usus -> gas masuk ke jaringan submukosa (pneumatosis instinalis) & dapat robek ke dalam bantalan vaskular mesentrika

Patofisiologi secara umum
Patogenesis NEC sulit untuk dipahami dan kontroversial, meskipun demikian, patogenesis NEC adalah multifaktor. Ada tiga mekanisme patologis utama dalam proses terjadinya NEC: cedera iskemik pada usus, kolonisasi bakteri usus, dan adanya suatu substrat seperti formula.

Cedera hipoksik/iskemik menyebabkan aliran darah ke usus menurun. Hipoperfusi usus ini selanjutnya merusak mukosa usus, dan sel mukosa yang melapisi usus menghentikan sekresi enzim protektif. Bakteri yang berproliferasi dibantu oleh makanan enteral (substrat), menginvasi mukosa usus yang rusak sehingga terjadi kerusakan usus lebih lanjut karena pelepasan bakteri dan gas hidrogen. Gas mulanya membelah lapisan serosa dan submukosa usus (pneumatosis intestinalis). Gas tersebut juga dapat robek ke dalam bantalan vaskular mesentrika, yang akan didistribusikan ke dalam sistem vena hepar. Tiksin bakterial yang berkombinasi dengan iskemia mengakibatkan nekrosis. Nekrosis usus yang sangat tebal mengakibatkan perforasi dengan pelepasan udara bebas ke dalam ronga peritoneal (pneumoperitoneum) dan peritonitis.




Referensi
Betz, Cecily Lynn; Sowden, Linda A. (2009). Buku saku keperawatan pediatri. Ed.5. Jakarta: EGC (alih bahasa: Eny Meiliya).
Caplan, Michael S; Jilling, Tamas. The pathophysiology of necrotizing enterocolitis. ---
McMillan, Julia A; Feigin, Ralph D; DeAngelis, Catherine; Jones, M.Douglas. (2006). Oski’s pediatrics: principles and practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins.

Distosia: Persalinan Penuh Risiko

P.S. do not copy without permission

Oleh. Dewi Lestari Handayani, 0706270371
Focus Group 3 Kelas A

Definisi
Distosia merupakan persalinan yang panjang, sulit, atau abnormal yang timbul akibat berbagai kondisi yang berhubungan dengan lima faktor persalinan (Bobak, 2005). Diduga, distosia ini terjadi jika kecepatan dilatasi serviks, penurunan dan ekspulsi janin tidak menunjukkan kemajuan, atau jika karakteristik kontraksi uterus menunjukkan perubahan. Lima faktor yang dapat menimbulkan distosia tersebut diantaranya adalah: Persalinan disfungsional, perubahan struktur pelvis, sebab-sebab pada janin, posisi ibu selama persalinan dan melahirkan, respon psikologis ibu terhadap persalinan.

1. Persalinan disfungsional

Yaitu keabnormalan kontraksi uterus yang menghambat kemajuan dilatasi serviks normal, kemajuan effacement (kekuatan primer), atau kemajuan penurunan (kekuatan sekunder)
2. Perubahan struktur pelvis
- Distosia pelvis
Ukuran pelvis yang tidak matur merupakan fraktor predisposisi terjadinya distosia pelvis. Kontraktur pelvis dapat terjadi pada distosia pelvis, disebabkan oleh kelainan kongenital, malnutrisi ibu, neoplasma, gangguan spinal bagian bawah.
a. Kontraktur pintu atas panggul
b. Kontraktur midplane
Kontraktur ini merupakan penyebab umum terjadinya distosia pelvis. Penurunan janin tertahan karena kepala tidak dapat melakukan rotasi internal. Pada kasus ini, kelahiran degan bantuan midforceps dihindari karena morbiditas perinatal akibat intervensi ini meningkat.
c. Kontraktur pintu bawah panggul
- Distosia jaringan lunak
Diakibatkan oleh obstruksi jalan lahir oleh kelainan anatami, bias karena prasenta previa, leiomioma (fibroid uterus) di segmen bawah uterus, tumor ovarium, dan kandung kemih atau rectum penuh.
3. sebab-sebab pada janin
Hal ini bsa disebabkan oleh:
- anomali
janin dengan ascites besar, tumor abnormal mielomeningokel, hidrosefalus
- disproporsi sefalopelvis (ukuran janin yang berlebihan)
ukuran janin yang besar berhubungan dengan DM maternal, obesitas, multiparitas, atau ukuran besar pada salah satu atau kedua orang tua. Hal tersebut dapat didiagnosa dengan pemeriksaan ultrasonografi.


Distosia bahu (shoulder dystocia) dapat terjadi ketika kepala janin dapat melewati jalan lahir, akan tetapi bahunya tertahan lebih lama dari waktu normalnya, dapat disebabkan oleh disproporsi sefalopelvis (ukuran bayi lebih dari 4,5 kg). Kepala bayi bisa keluar akan tetapi bayi mengalami kesulitan untuk bernapas karena dadanya tertekan di pelvis ibu.

Pada bayi, dapat terjadi kerusakan nervus di leher (brachial plexus injury), 10% bayi dengan distosia bahu mengalami hal tersebut, yang menyebabkan paralisis terhadap tangan bayi, meski di banyak kasus, hal tersebut bersifat temporer. Contohnya adalah: Erb’s palsy and Klumpke’s paralysis. Cedera lain pada bayi yaitu fraktur pada lengan atau bahu bayi, juga pada kasus yang parah, kematian akibat kerusakan otak.
Pada ibu, dapat terjadi robekan vagina, perdarahan hebat (postpartum haemorraghe), dampak emosional (kejadian traumatis).
- mal presentasi
yang umum terjadi adalah Occiput posterior presentation, breech presentation (presentasi bokong), Face or brow presentation. Pada presentasi bokong, terdapat beberapa tipe, yaitu: frank breech (paha fetus fleksi, dan lututnya ekstensi), complete breech ( fetus terlihat seperti duduk dengan paha dan lutut fleksi), single or double footling presentation (salah satu atau kedua kaki ekstesi). Pada presentasi bokong, penurunan kepala bisa melambat karena bokong tidak cukup baik berdilatasi seperti kepala janin, dapat juga terjadi prolaps tali pusat jika ketuban pecah. Kelahiran dengan presentasi bokong berhubungan dengan trauma lahir, asfiksia, kelahiran prematur, anomali kognitif, serta mortalitas.
- mal posisi
yang paling umum adalah oksipitoposterior. Persalinan menjadi lebih lama terutama di kala dua.
- kehamilan kembar.
4. posisi ibu selama persalinan dan melahirkan
Terhambatnya gerakan maternal atau pembatasan persalinan terhadap posisi rekumben atau litotomi bisa mengganggu persalinan. Hal tersebut menyebabkan distosia, sehingga dibutuhkan tindakan seperti augmentasi persalinan, forsep, ekstrasi vakum, dan kelahira sesarie.
5. respon psikologis
kadar hormon yang tinggi (beta endorfin, hormon ACTH, kortisol, epinefrin) yang dilepas sebagai respon stress dapat menyebabkan distosia. Tirah baring dan pembatasan gerak juga menambah stress psikologis yang dapat memperberat stress fisiologis pada wanita melahirkan

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perawatan yang perlu dilakukan kepada klien dengan distosia yaitu meliputi pengkajian respon psikologis terhadap persalinan, pengkajian umum berupa frekuensi, lama, dan intensitas kontraksi uterus, status serviks, DJJ, serta status membran. Data lab seperti pH kulit kepala, dapat mengidentifikasi distress janin, hasil ultrasonografi dapat mengidentifikasi masalah disfungsi persalinan potensial yang terkait dengan janin atau panggul ibu. Perawatan kolaboratif yang dapat dilakukan pada klien dengan distosia bermacam-macam dan berbeda-beda tergantung pada indikasinya, diantaranya yaitu:
1. Versi sefalik eksterna (upaya memutar janin dari presentasi bokong atau bahu ke verteks)
2. Percobaan partus (untuk persalinan aktif)
3. Induksi persalinan (dimulainya kontraksi persalinan sebelum awitan spontannya untuk tujuan mempercepat kelahiran)
4. Augmentasi (stimulasi kontraksi uterus setelah persalinan dimulai secara spontan, dilakukan untuk disfungsi persalinan hipotonik)
5. Melahirkan dengan bantuan forceps
6. Ekstrasi vakum (metode pelahiran dengan memasang sebuah cup vakum di kepala janin dan tekanan negatif
7. Kelahiran sesaria

Banyak hal yang dapat berkontribusi dalam distosia atau panjangnya waktu tempuh persalinan. Distosia persalinan sendiri jika tidak diatasi segera akan menimbulkan berbagai komplikasi baik pada bayi ataupun pada ibu dan yang terburuk adalah kematian. Oleh karena itu, tindakan segera dan tepat diperlukan untuk kesejahteraan ibu dan bayi.

Daftar Pustaka
Bobak; Lowendermik; Jensen. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas. (Edisi 4). Jakarta: EGC (alih bahasa: Maria A. Wijayarini, S.Kp, MSN & dr. Peter I. Anugerah)
Merck Sharp & Dohme Corp. Fetal dystocia. http://www.merck.com/mmpe/sec18/ch264/ch264d.html (diakses pada 2 Oktober 2010 pukul 20:06 WIB)
Norwitz, Errol R.; Chez, Bonnie Flood; Gonik, Bernard. Reduce shoulder dystocia injuries. http://www.healthstream.com/ShoulderDyst/ (diakses pada 2 Oktober 2010 pukul 20:01 WIB)
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. A difficult birth: what is shoulder dystocia? http://www.rcog.org.uk/womens-health/clinical-guidance/difficult-birth-what-shoulder-dystocia (diakses pada 2 Oktober 2010 pukul 20:04 WIB

Systemic Lupus Erythematosus

Do not copy without permission

Sekilas tentang Systemic Lupus Erythematosus
-oleh: Dewi Lestari Handayani, FIK UI 2007-

Patofisiologi
SLE ini merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe III, yaitu reaksi akibat kegagalan imun dan system fagosit untuk lepas dari imun kompleks antigen-antibodi. Penyakit ini diperkirakan terjadi karena adanya gangguan pada regulasi imun yang menyebabkan meningkatnya autoantibodi yang berlebihan. Gangguan ini muncul akibat kombinasi faktor-faktor genetic, hormonal, dan lingkungan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibody ini diperkirakan terjadi akibat keabnormalan fungsi sel T-supresor sehingga terjadi penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Mekanisme pasti tidak diketahui, akan tetapi, sekali terbentuk, anti-DNA autoantidbodi dapat bereaksi dengan DNA dari sel-sel yang rusak di tubuh sehingga menyebabkan munculnya respon inflamasi karena adanya peningkatan kerusakan sel dan pembentukan antigen-antibodi imun kompleks sebagai respon inflamasi.

Manifestasi Klinis:
Tanda dan gejala pada orang yang menderita lupus eritematosus sistemik bervariasi (tergantung organ yang diserang) dan dapat bersifat perlahan-lahan dan tidak jelas. Biasanya, tanda dan gejala yang muncul adalah:
a. Ginjal
Nefritis, glomerulonefritis

b. Kulit
Rash eritematosus pada kulit yang terkena, purpura, alopecia, ulkus mukosa, yang dapat mengenai palatum durum disertai dengan eksaserbasi nodul subkutan, splinter hemorrhages

c. Sistem Saraf Pusat
Neuritis, seizures (kejang), depresi, psikosis

d. Lain-lain
Arthritis/poliarthralgia, perikarditis, restrictive pulmonary disease, perubahan retina, trombositopenia, anemia, ulkus gastrointestinal, perikarditis (paling sering ditemukan) disertai efusi pleura, limfanodenopati (50%pasien SLE) selama perjalanan penyakit tersebut,

Referensi:
Copstead & Banasik. (2000). Pathophysiology: Biological and behavioral perspectives volume 2. (2nd ed). Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Smeltzer & Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddarth volume 3. (Ed. 8). Jakarta: EGC